Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen: Pria Penikmat Senja



Langit senja hari ini begitu bersih. Awan yang berarak telah pergi tersapu angin sore. Kemilau jingga berkilauan di permukaan air laut nan tenang. Hanya desiran ombak yang memecah lamunan kala itu. Seperti biasa, aku menunggu sunset. Menikmati romantisnya senja sambil berjalan di tepi pantai. Sesekali membetulkan jilbab yang berkibar tertiup angin pantai. Lalu sesekali mengusap air yang membasahi pipi.

"Dek, ayo pulang..." itulah kalimat yang ku dengar jika airmataku sudah turun. Suara itu disusul usapan lembut tangannya di kepalaku. Dia adalah pria yang selalu menemaniku menunggu sunset. Menunggu dengan sabar tanpa bicara apapun. Menikmati langkahku berjalan di tepian pantai. Sampai sunset dan airmataku tenggelam, ia baru mengajak pulang.

♢♢♢♢♢

Tiga bulan yang lalu,

"Kita ngga bisa liat sunset yaa hari ini..." Kataku mengeluh sambil menopang dagu di jendela sebuah rumah makan tak jauh dari pantai. Hujan turun tiba-tiba dengan derasnya saat kami sudah dikit lagi sampai ke pantai. Lagi dan selalu, tangannya mengusap kepalaku dengan lembutnya, sambil tersenyum, dia mengucapkan mantra andalannya,"Syukuri saja, ya...". Dia adalah Hanif, pria yang telah membuat hidupku lebih berwarna. Dia teman kecilku, rumahnya hanya beda satu gang dari rumahku. Sebagai anak pesisir, sudah wajar dari kecil kami suka bermain di pantai. Tak seperti anak pesisir lainnya yang bosan dengan kehidupan pantai dan laut, Hanif malah kian mencintai laut dan pantai. Ia sering memunguti sampah yang ada di pantai. "Biar bersih" katanya sambil tersenyum. Ia jarang berbicara, hanya bicara yang penting2 saja.

Hanif adalah pria penikmat senja. Tiap sore setelah pulang kuliah atau bekerja, ia tak langsung pulang ke rumah. Pernah aku menanyakan kenapa ia sangat menyukai senja, "Karena senja romantis" katanya singkat. Aku menatapnya bingung, meminta penjelasan lanjut."Alam mengajarkan banyak kehidupan. Salah satunya langit senja ini. Dimana ada pertemuan dan perpisahan terjadi dalam satu waktu. Tau siapa mereka, Fis?" Hanif bertanya padaku sambil menatap sunset di depannya. "Matahari dan bulan?" kataku polos. "Benar, Nafis. Matahari yang seharian menerangi bumi akhirnya bersua dengan sang bulan di waktu senja. Hanya sebentar hingga akhirnya mereka berpisah. Menurutmu, siapa yang paling sedih di sini? Matahari atau bulan?" aku langsung menjawab,"Matahari dong, kan dia udah seharian nunggu bulan di siang hari, eehhh malah si bulan munculnya pas matahari mau pergi. Menunggu itu kan menjemukan, kata Anda di AADC, haha" Hanif ikut tertawa kecil. "Nafis... Matahari itu hanya diam di tempat, ia hanya berputar pada porosnya, sedangkan bulan mengitari bumi dan juga berputar pada porosnya. Yang lebih banyak bergerak adalah bulan, kan? tapi yang terlihat bergerak seolah-olah menunggu adalah matahari. Saat berjumpa pun, bulan malah ditinggalkan matahari. Sedihan yang mana?" Hanif bertanya masih dengan senyumnya. "Kalau seperti itu, senjanya diganti menjadi fajar saja, bulannya sudah menunggu semalaman, mataharinya terbit saat bulan mau pergi" Kataku sok menganalisis. "Senja dan fajar berbeda, Nafis. Ingat, menunggu hanya dimiliki orang-orang yang memiliki keyakinan. Kalau kita yakin pada apa yang kita tunggu, tidak perlu cemas dalam menunggu. Akan lebih baik lagi jika kita tak terlihat menunggu, tapi padahal kita sedang menunggu. Seperti bulan saat bertemu matahari di waktu senja, tak terlihat. Jangan menampakkan diri seperti menunggunya bulan di malam hari dan bertemu matahari di waktu fajar. Itulah mengapa senja lebih romantis dibanding fajar, setidaknya, itu menurutku" lagi-lagi Hanif tersenyum. Jawaban tentang mengapa ia menyukai senja membuatku kian terkagum padanya, sekaligus, itu penjelasan terpanjang yang baru ku dengar selama ia berbicara.

Kembali ke rumah makan tempat kami berteduh dari hujan. Hanif adalah pria sederhana dengan hati kayanya. Kenapa hatinya bisa kaya? karena ia selalu mensyukuri kehidupannya. Tandas pula hatiku padanya dengan segala kelebihan yang ia punya. Ia sangat pintar saat di sekolah. Itulah kenapa sekarang ia bisa berkuliah di Universitas Negri dengan dibiayai beasiswa full. Sambil sesekali bekerja disela-sela sibuk kuliahnya. "Nafis, malah bengong." katanya membuyarkan lamunanku. Ia menyodorkan teh hangat ke mejaku, dan ia sendiri menaruh kopi di mejanya. Aroma teh melati dan kopi hitam campur menjadi satu. Aroma yang selalu kami nikmati bersama. Hanif tau aku tak suka kopi, lambung tak kuat itu bukanlah mitos semata, akulah yang selalu merasakannya sehabis minum kopi. Kami meneguk minuman hangat di depan meja masing-masing. Perasaan hangat ini, tentu hanya kami yang tau. Perasaan saling mencintai sejak dulu. Perasaan yang selalu sampai lewat secangkir teh dan kopi. Setelah meminum sedikit, aku dan hanif tersenyum. Kemudian saling bilang "terimakasih". Tentu saja selalu dia yang pertama bilang "Terimakasih". Ia bilang, "Terimakasih karena selalu menemani kopiku". Sedangkan aku berterimakasih karena Hanif sudah pengertian walau tidak bisa sama-sama ngopi. :D
"Selalu ada pengganti sunset yang lebih baik."Katanya. Itulah kata-kata yang sering dia ucapkan saat tidak bisa menikmati senja. Entah itu karena hujan, tugas kuliah ataupun kerjaan mendesak yang membuatnya harus rela meninggalkan senja. "Melihat senja itu nikmat, melihat sunset itu nikmat plusnya"Hanif masih memandang hujan, langit mendung masih sedikit menyiratkan warna-warna jingga.

Aku masih sibuk menghirup sedikit-sedikit tehku sebelum akhirnya aku melihat sesuatu yang ganjil. Ada air yang mengalir di kedua pipi Hanif. Sepertinya Hanif menyadari aku tau ia menangis, langsung dihapusnya cepat2 air dikedua pipinya. "Kamu kenapa?" tanyaku heran. Ia mengeluarkan selembar kertas padaku. Surat tentang terpilihnya menjadi relawan ke Afghanistan. Aku ingat saat kecil ia bercerita ingin menjadi relawan di daerah konflik, khususnya Timur Tengah. Ia bilang, di sana jarang laut, ia sangat ingin bercerita pada orang-orang di sana tentang indahnya sunset. Tentu saja ku kira itu hanya cerita anak belaka. Tak ku sangka diam-diam ia mewujudkannya. Lalu kenapa sekarang ia malah menangis? aku menanyakannya lagi kenapa ia menangis, ia hanya tersenyum dan bilang "Sepertinya, aku tidak akan melihat sunset untuk waktu yang lama". Aku hanya tertawa dan menepuk pundaknya. Aku menghiburnya bahwa sunset tidak akan pernah pergi. Sedangkan kesempatan mewujudkan cita-cita tidak pernah datang dua kali. Seperti biasa ia hanya tersenyum sambil mengusap kepalaku.

♡♡♡♡♡

Siapa yang mengira kalau pesawat yang ditumpangi Hanif terjatuh di perairan laut jawa. Tak ada yang mengira perpisahan di Bandara Adi Sucipto kala itu menjadi yang terakhir kali aku melihatnya. Bebetapa korban ditemukan dalam kondisi menjadi jenazah semua. Namun tak ada Hanif diantara jenazah-jenazah itu. Hingga akhirnya tim SAR menghentikan pencarian korban pesawat setelah beberapa bulan. Tak sedikit korban yang hilang, tak ditemukan, termasuk Hanif.

Tiga bulan berlalu, setelah kepergian Hanif, aku masih rutin mengunjungi pantai saat senja. Baru ku pahami benar kalau senja, saat pertemuan matahari dan bulan, hanya bersifat sementara. Begitu pula kehidupan di dunia. Hanya sementara belaka, jika sudah waktunya, mautlah yang memisahkannya. Kian deras airmataku saat matahari mulai tak terlihat di ufuk timur. Dan pria yang saat ini selalu menemani senjaku, dialah Hamdani. Teman masa kecil juga, tapi dia kaka kelas. Dia mencintaiku juga dari kecil, tapi ia tau kepada siapa hatiku berharap, pada Hanif. Maka dengan besar hati ia hanya bisa melihat yang dicintainya bersama yang dicintainya. Setelah kepergian Hanif, ia datang. Ia berusaha menjadi seperti Hanif, mengusap kepalaku sambil tersenyum, menemani tiap senja, sedikit bicara, memunguti sampah di pantai, membuatkanku teh dan kopi untuknya. Awalnya, semua itu membuatku kian mengingat Hanif. Sering aku menangis saat Hamdani melakukan "ke-Hanif-annya" di depanku. Tapi ia segera tetap seperti Hanif. Sudah tiga bulan berlalu, dan aku mulai menerimanya. Aku sudah mulai tersenyum, bahkan tertawa saat bersamanya.

♤♤♤♤♤

Setahun kemudian,

"Mas, lihaat ini!" Kataku girang sambil menyerahkan hape ke Hamdani. Tertulis namaku sebagai observer kebudayaan di daerah Kalimantan. "Wah... akhirnya lolos juga kamu, Dek" Hamdani tersenyum riang. Proposal skripsi kebudayaan yang ku garap tak kuduga akan lolos di pusat penelitian kampus. Untuk dua minggu ke depan aku akan ke Kalimantan sebagai observer dengan beberapa mahasiswa lainnya. Aku teringat Hanif lagi, beginikah rasanya jika impian yang kau idamkan ternyata terwujud?
Sebulan kemudian aku berangkat ke Kalimantan. Sekujur tubuhku keringat dingin. Bukan karena baru pertama kali naik pesawat, terlebih karena aku jadi entah kenapa teringat Hanif. Bandara ini adalah tempatku terakhir kalinya melihat Hanif. Hamdani sangat tau apa yang menjadi pikiranku. "Allah bersamamu" katanya tenang. Sekejap aku menjadi tenang. Kemudian ia memberiku gantungan kunci berlafadz Allah, yang ku tau itu pemberian temannya dari Makkah. "Biar inget Allah terus" katanya. Segera ku baca ulang doa2 bepergian agar selamat. Dan benar saja, akhirnya aku sampai di Kalimantan dengan selamat.

Disana sudah ada tim dari kampus yang menunggu kami. Kami segera dibawa ke gedung pusat penelitian untuk setelahnya ke tempat penelitian di Pulau Karimata. Gefung Pusat Penelitian ini di pesisir pinggiran kota Pontianak. Pesisir lagi, batinku. Tiba-tiba kudengar suara "Syukuri saja, ya...". Aku terhenyak, melihat sekeliling. Hanya ada teman-temanku sibuk membawa koper. Segera ku tepis semua ingatan Hanif. Aku hanya akan meneliti disini dua minggu. Fokus, Nafis! gentakku dalam hati.

Keesokan harinya, kami bersiap-siap ke tempat objek penelitian. Setelah berkemas, bersiaplah kami menuju Pulau Karimata. Briefing, tata krama, adat istiadat, budaya kami pelajari terlebih dahulu. Tak sia-sia mencari referensi sampai ke perpus kota demi tahu daerah ini. Yang ada dibenak saat ini hanya skripsi terbaik. Ah, apa sih yang kupikirkan. Skripsi selesai saja sudah cukup untuk saat ini. Batinku tertawa.

Setelah 3 jam terapung-apung di atas kapal, karena aku mabuk laut, tidak ada yang dapat kunikmati selama perjalanan di atas laut. Untunglah teman-temanku sabar menghadapi teman ringkihnya ini. Segera tidurlah aku saat sampai di Homestay.

♧♧♧♧♧

Jam menunjuk pukul 4 sore. Homestay sepi, mungkin yang lain sedang memperkenalkan diri ke penduduk sekitar untuk beradaptasi. Aku segera shalat dan mandi, setelah itu aku makan. Yang lain masih belum datang. Aku keluar homestay untuk melihat sekitar. Beberapa anak kecil sedang bermain menatapku dengan aneh. Aku menghampiri mereka sambil tersenyum. "Hai adik-adik... lagi ngapain?"sapaku. Mereka berbisik-bisik namun masih terdengar, mereka memakai bahasa kalimantan. "Kenalin ya, kaka sekarang tinggal di situ, kakak mau belajar di sini sama kalian" aku merayu mereka lagi supaya tidak takut padaku. Mata mereka perlahan mulai tertarik, kemudian aku mulai bercerita tentang banyak hal. Mereka mulai tertawa, menimpali walau masih agak kaku berbahasa indonesia. Kemudian salah seorang anak mengajakku ke rumahnya. Tentu saja aku tak menolaknya.

Rumah anak tersebut dipinggir pantai, waktu menunjukkan pukul 05:10, senja mulai temaram. Keindahan alam di depanku tak terelakkan, mungkin karena beda tempat. Biasa melihat senja dan sunset di satu tempat ternyata membuatku melupakan banyak hal. Termasuk sunset di tempat lain. Seorang kakek tua keluar dari dalam rumah sambil membawa jala. Ia ramah menyambutku. "ini, kata cucu saya, ada orang yang ngomong pake bahasa Indonesia lagi, saya disuruh ngomong sama mbanya, hehehe" Kata si kakek sambil terkekeh. Aku ikut tertawa mengusap kepala si anak. "Iya ya, kok kakek lancar ya bahasa Indonesianya, biasanya malah orang yang tua yang agak susah pakai bahasa Indonesia, kek" kataku iseng bertanya. "Si Edang Janu itu yang ngajarin pakai bahasa Indonesia, pintar juga dia nangkap ikannya". kata si kakek, tanpa memperkenalkan Edang Janu. Aku mengangguk saja sambil tersenyum. "Diaa biasanya ada di pinggir sana tuh, lagi duduk, biasanya beli teh sama kopi di warung sini, pinter orangnya." Kakek menunjuk pinggiran pantai. Aku mulai sedikit terhentak. "Iya kak, tiap hari dia disitu, bawa kopi sama teh tapi tehnya ngga pernah diminum" Deg. Jantungku mulai berdegup kencang. "Dulu kan dia hampir mati tenggelam itu dulu di tengah laut, di tolong nelayan di dekat pulau maya." Deg. "Untung masih hidup, katanya kecapean renang, dia bilang dari pulau jawa" Deg. "Dia suka liatin matahari tenggelem, sering bilang senja-senja juga, kayanya dia agak gila juga dia kaya lupa ingatan" Deg. Air mataku mulai keluar. Aku langsung pamit kepada kakek dan cucunya yang terheran-heran melihatku menangis sambil berlarian ke sekitar pinggiran pantai. Benarkah? Edang Janu adalah dia? Aku melihat sekeliling, mencari-cari, ada beberapa nelayan yang juga heran melihatku. Aku hanya menyebutkan "Edang Janu?" kemudian mereka segera paham dan menunjuk sebuah saung reyot di samping pohon kelapa. Setelah berterimakasih aku langsung menuju tempat yang disebutkan.

Perlahan aku melongok ke saung itu, tak ada siapapun. Hanya ada secangkir teh dan secangkir kopi yang sudah tinggal setengah. Ini semua mimpi, kan? Airmataku tumpah, bagaimana jika ini semua hanya mimpi? Atau bagaimana jika ternyata Edang Janu bukan dia?

"Menunggu hanya milik orang yang punya keyakinan, bukan?" Bohong.... ini semua bohong kan? Suara di belakangku, kalimat yang sangat tak asing, nada bicara yang sangat ku kenali. Airmataku tumpah semua... ku balikan badan perlahan. Dia hitam, rambutnya gondrong, matanya menyiratkan penderitaan, bukan seperti Hanif. Tapi, senyuman itu... aku tahu pemilik senyum itu. sangat tau. Dia adalah Hanif, tetap Hanif yang dulu. Ia mendekatiku, dan mengusap kepalaku. Senja menyunggingkan senyumnya, Matahari dan bulan berjumpa di waktu yang telah ditentukan, bukan? saat senja.

Jakarta, 20/8/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar