Sabtu, 29 Februari 2020

Jika Aku Menjadi Nami (One Piece)

Aku sedang dalam tidur yang lelap ketika aroma nan lezat mengusik tidurku. Seperti aroma daging panggang dengan bumbu sedapnya… hmmm? Bumbu apa ini? Kenapa tercium sangat lezat sekali? Aku belum pernah mencium aroma masakan sesedap ini. Aku mulai perlahan membuka mataku. Udara segar masuk lewat jendela bulat yang terbuka, semilir angin laut menerpa wajahku, rambut panjang orenku berkibar. Dan sepertinya, badanku sedikit merasa kedinginan.

Tunggu dulu! Apa? Aku berhenti sejenak dan menatap lekat-lekat sekelilingku. Ku yakinkan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Aku yakin di luar jendela itu adalah laut yang sangat luas. Laut? Angin berhembus kembali menerpa wajahku. Rambut Oren? Aku memegangi rambut panjangku yang sangat harum dan berwarna oren jeruk, sangat indah… Tapi? Apaaaaaa?????? Rambutku kan warna hitam! Aku spontan berdiri dan terkaget melihat cermin di sudut kamar. Ku lihat berkali kali Antara cermin dan badanku. Aku… aku… mengelus-elus wajahku sambil berkenyit heran, kenapa aku terlihat seperti Nami??!!! Dari wajah, rambut hingga ujung kaki. Nami One Piece yang selama ini ku ikuti manga maupun animenya. Kenapa bangun tidur aku menjadi Nami? Dan… aku melihat sekeliling dengan takut-takut. Ternyata ini benar-benar suatu ruangan di dalam kapal, lebih tepatnya kamar perempuan. Padahal tadi malam aku masih ingat tidur di dalam kamarku di rumah dengan memakai kaos singlet dan celana pendek serta selimut. Saat ini aku hanya memakai setelan Bra dan celana jeans Nami. Pantas saja aku merasa kedinginan. Aku masih tidak paham pada situasi ini. Aku segera membuka kabinet besar dan lemari-lemari yang ada di ruangan itu, berharap ada baju yang lebih menghangatkan. Dan wah, ternyata baju Nami banyak juga, tapi tetap lebih banyak bra-nya. Gyaaa… baju-bajunya sangat seksi-seksi sekali… akhirnya, kupilih baju di tumpukan paling bawah. Baju putih bergaris biru, baju saat Nami pertama kali debut dulu. Yaa.. lumayan lebih hangat ketimbang sebelumnya.

“Sanjieeee…..!!! apa dagingnya sudah bisa ku makan sekarang???” suara teriakan keras di sertai langkah berlari tak karuan terdengar dari luar. Aku terkaget sampai terjatuh ke lantai. Aku sangat mengenal suara itu. Aku menutup mulut, pikiranku mulai menyatu. Tapi aku masih ragu dengan pikiranku sendiri. Rasa penasaranku membawaku melangkah menuju pintu. Ku buka perlahan. Dan…. Mataku benar-benar tak berkedip melihat pemandangan di luar ruangan. Aku sedang berada di dalam kapal laut yang persis seperti Thousand Sunny. Geladak kapal berumput, ada ayunan dan luncuran, di atasnya lagi ku lihat ada pohon jeruk milik Nami dan Kasur bunga Robin.

Aku berjalan perlahan keluar. Masih belum ada orang yang ku lihat. Sempat terpikirkan ini pasti super trap, tapi rasanya sangat tidak mungkin. Mana mungkin mereka membawaku yang sedang tidur ke tengah-tengah laut begini? Dan lagipula… siapa yang mau melakukan hal konyol seperti itu. Aku tiba-tiba tersenyum sendiri. Mataku masih berbinar-binar. Apakah aku sedang naik thousand sunny yang berada di Jepang itu? Ah, bagaimana aku bisa sampai Jepang? Pikiranku masih kalang kabut.
“Oi Nami, ngapain bengong begitu?” suara malas itu! Aku menoleh ke arah datangnya suara. Usop! Si Sogeking dengan santainya duduk di pinggir dek kapal sambil menguap. Ia menoleh ke arahku lagi dengan malas. “Ada apa?” tanyanya sambil menatapku bingung. Ah, aku lupa kalau aku ini kan berwujud Nami. Apakah aku harus bertanya? Atau tetap berpura-pura saja menjadi Nami? Aku jadi sangat bingung. Apakah aku sedang ada di dunia One Piece atau bagaimana ini? Usop yang di depanku 100% sangat mirip usop di manga ataupun anime. Atau dia cosplayer? Tapi untuk apa? Ah, aku tambah bingung.

“Nami, apa kau sedang sakit? Wajahmu sedikit pucat” tiba-tiba ada sesuatu menyentuh dahiku. Sedikit keras namun terhalang oleh sesuatu empuk berbulu halus. Aku terkaget melihat seekor hewan bisa berbicara dan memegangi dahiku. Chopper! Si Rusa berhidung biru itu, dia sedang dalam mode heavy point. Dia memandangiku heran. Aku masih melotot dengan mulut terbuka. “Apa aku mengagetkanmu? Maaf aku belum kembali ke wujud asalku karena habis membantu franky mengangkat kayu di bawah. Aku akan mandi dulu sebelum makan siang nanti. Dan sepertinya kau baik-baik saja, Nami. Mungkin kau hanya belum berdandan saja. Hehe” Chopper kemudian berbalik badan dan masuk ke ruangan di atas. Usop sedang terlihat sibuk mengaitkan umpan di kailnya. Aku berjalan ke geladak sambil terus memperhatikan sekitar. Ini benar-benar Sunny Go. Kayunya sangat bagus dan kokoh. Aku masih tak percaya bahwa aku sedang berada di dunia One Piece. Dan menjadi Nami. Oh ya, aku belum pernah mengatakan sesuatu apapun. Apakah suaraku juga seperti Nami?

“Bakka…” kataku pelan. Ah, suara itu, suara Nami. Aku benar-benar seorang Nami. “Kono Yarou… Bakka Yarou… hihi” aku tertawa sendiri mengucapkannya. Sepetinya lumayan menyenangkan juga.

“Nami, ayo kita ke ruang makan. Sepertinya sebentar lagi Sanji selesai memasak” Suara wanita nan lembut itu… siapa lagi kalau bukan.. “Robin Cwaaannnnnnnn~” aku teriak terpesona seperti Sanji di anime. Aku benar-benar terpesona melihatnya. Ia berdiri dengan cantiknya sambil memegang cangkir yang sudah kosong. Sepertinya ia habis membaca buku di perpustakaan sambil minum teh atau kopi. Aku baru sadar ternyata Robin dan Usop melihatku dengan sangat heran.

“Ehm, maksudku, biasanya Sanji yang akan memanggil kita duluan untuk makan, Bukan?” kataku mengalihkan. Robin hanya tersenyum simpul dan berkata “Ayo” dengan lembut. Usop pun selesai membereskan alat pancingnya dan bergegas mengikuti Robin. Namun, sebelum masuk ke ruang makan, Usop berteriak keras sambil menghadap ke ruang pengintai di atas.

“Oiii Zoro!! Makan dulu, nanti lanjut latihan lagi!!” Whattttt???? Hatiku dag dig dug setelah nama Zoro disebut. Zoro? Roronoa Zoro? Si babang Zoro yang sangat ku idolakan itu? Ia ada di atas sana??? Apa aku siap untuk bertemu dengannya? Aku harus apa? Aku harus apaaaaa? Kemudian otakku jadi tumpul. Karakter idolaku di One Piece yang biasa kulihat di kertas atau di layar Laptop ini sekarang benar-benar ada dihadapanku. Aku harus apa?

“Ya, nanti aku turun… 4993, 4994, 4995…” Suara berat khas Zoro lewat mikrofon yang sepertinya sedang angkat beban itu terdengar sampai menggetarkan seluruh tubuhku. Kyaaaaaa…. Aku sangat merasa mukaku merona. Dia pasti akan turun di angka 5000 angkat bebannya. Tiba-tiba aku jadi sangat malu dan berlari cepat menyusul usop dan Robin. Baru saja akan masuk ke ruang  terdengar bunyi yang sangat gaduh dari dalam dan…

“Sudah ku bilang berapa kali, jangan mengambil daging milik Robin ataupun Nami, dasar kapten bodoh!!!” Sanji terlihat sedang memegang penggorengan beserta spatula berlari – lari mengejar si pelahap daging, tentu saja kapten kita semua, tokoh utama dari dunia One Piece ini.

“Kembalikan, Luffy!!!!!” Sanji tetap mengejar meski Luffy sudah memakan setengah daging porsi besar, entah milik siapa. Tapi aku yakin, Daging milik luffy pasti sudah habis oleh luffy sendiri. Aku melihat Luffy sambil tertawa. Di mulutnya ada daging yang tinggal setengah, sambil berlari, ia makan dan tertawa terbahak-bahak, “Ini sangat enak, Sanji!!” Ia masih saja sempat memuji koki mesumnya itu. “Bodoh! Hari ini sengaja ku buatkan daging dengan bumbu istimewa untuk merayakan ulang tahun Nami, dan yang kau ambil adalah daging milik Nami yang sedang ulang tahun. Sengaja ku pilihkan daging yang paling bagus untuknya!” Sanji masih saja mengejar sambil terus mengomel. Ia tidak sadar bahwa Aku, eh, maksudku aku yang sedang menjadi Nami mendengar kata-katanya dan tentu saja sebagai wanita aku sangat terharu. Robin dan Usop terlihat keluar kembali dari ruangan sambil tertawa melihat kapten dan koki meributkan daging. Kemudian ku lihat ada Chopper dengan versi kawainya juga ikut terlihat tertawa.

“Dhuarrr!!! Dhuarrr!!! Peet Peeettttttt!!!!” tiba2 entah dari mana kertas party popper dan suara terompet memekakan telingaku. “Selamat Ulang Tahun, Nami!!! Zuuuppppaaaaaa!!!” Franky tiba-tiba saja sudah berada di belakangku sambil memegang terompet. Kemudian terdengar suara biola mendendangkan lagu ‘Happy Bhirthday to you’ dengan sangat indahnya membuatku berkaca-kaca. Di ujung dek kapal, si tengkorak brook sedang memainkan biolanya.

Sungguh, aku menangis bukan karena merasa sedang ulang tahun. Melainkan, jika aku memang benar-benar menjadi Nami, atau menjadi bagian dari mereka, apakah semua ini akan berakhir?

“Hei, Kalian!! Berisik sekali! Ada apa sih di sini?” Betul saja. Suara itu. Si hijau tukang nyasar yang doyan sake. Dia terlihat berdiri kurang lebih 7 meter di depanku setelah sebelumnya loncat dari ruang navigasi di atas. “Babang Zoro….” Aku benar-benar sudah tidak dapat menahannya lagi. “Hah??” kulihat si babang mengernyitkan dahinya setelah kupanggil ‘Babang’. Aku berkaca-kaca dan berlari ke arah babang Zoro. Aku membuka kedua tanganku bersiap memeluknya. Tapi apalah daya, tiba2 datang Jinbei di depanku memasukkan ikan ke dalam mulutku.

“Makan buruan! keburu imsak” suara jinbei seperti suara mamakku. Benar saja. Setelah tragedi yang Jinbei lakukan padaku, tiba2 dalam satu detik aku terlempar dari Sunny Go ke kamar tidurku. Ku lihat mamakku sedang memasukkan tempe goreng ke mulutku. “Dari tadi dibangunin saur kaga bangun-bangun. 10 menit lagi imsak!!”

THE END

Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen: Pria Penikmat Senja



Langit senja hari ini begitu bersih. Awan yang berarak telah pergi tersapu angin sore. Kemilau jingga berkilauan di permukaan air laut nan tenang. Hanya desiran ombak yang memecah lamunan kala itu. Seperti biasa, aku menunggu sunset. Menikmati romantisnya senja sambil berjalan di tepi pantai. Sesekali membetulkan jilbab yang berkibar tertiup angin pantai. Lalu sesekali mengusap air yang membasahi pipi.

"Dek, ayo pulang..." itulah kalimat yang ku dengar jika airmataku sudah turun. Suara itu disusul usapan lembut tangannya di kepalaku. Dia adalah pria yang selalu menemaniku menunggu sunset. Menunggu dengan sabar tanpa bicara apapun. Menikmati langkahku berjalan di tepian pantai. Sampai sunset dan airmataku tenggelam, ia baru mengajak pulang.

♢♢♢♢♢

Tiga bulan yang lalu,

"Kita ngga bisa liat sunset yaa hari ini..." Kataku mengeluh sambil menopang dagu di jendela sebuah rumah makan tak jauh dari pantai. Hujan turun tiba-tiba dengan derasnya saat kami sudah dikit lagi sampai ke pantai. Lagi dan selalu, tangannya mengusap kepalaku dengan lembutnya, sambil tersenyum, dia mengucapkan mantra andalannya,"Syukuri saja, ya...". Dia adalah Hanif, pria yang telah membuat hidupku lebih berwarna. Dia teman kecilku, rumahnya hanya beda satu gang dari rumahku. Sebagai anak pesisir, sudah wajar dari kecil kami suka bermain di pantai. Tak seperti anak pesisir lainnya yang bosan dengan kehidupan pantai dan laut, Hanif malah kian mencintai laut dan pantai. Ia sering memunguti sampah yang ada di pantai. "Biar bersih" katanya sambil tersenyum. Ia jarang berbicara, hanya bicara yang penting2 saja.

Hanif adalah pria penikmat senja. Tiap sore setelah pulang kuliah atau bekerja, ia tak langsung pulang ke rumah. Pernah aku menanyakan kenapa ia sangat menyukai senja, "Karena senja romantis" katanya singkat. Aku menatapnya bingung, meminta penjelasan lanjut."Alam mengajarkan banyak kehidupan. Salah satunya langit senja ini. Dimana ada pertemuan dan perpisahan terjadi dalam satu waktu. Tau siapa mereka, Fis?" Hanif bertanya padaku sambil menatap sunset di depannya. "Matahari dan bulan?" kataku polos. "Benar, Nafis. Matahari yang seharian menerangi bumi akhirnya bersua dengan sang bulan di waktu senja. Hanya sebentar hingga akhirnya mereka berpisah. Menurutmu, siapa yang paling sedih di sini? Matahari atau bulan?" aku langsung menjawab,"Matahari dong, kan dia udah seharian nunggu bulan di siang hari, eehhh malah si bulan munculnya pas matahari mau pergi. Menunggu itu kan menjemukan, kata Anda di AADC, haha" Hanif ikut tertawa kecil. "Nafis... Matahari itu hanya diam di tempat, ia hanya berputar pada porosnya, sedangkan bulan mengitari bumi dan juga berputar pada porosnya. Yang lebih banyak bergerak adalah bulan, kan? tapi yang terlihat bergerak seolah-olah menunggu adalah matahari. Saat berjumpa pun, bulan malah ditinggalkan matahari. Sedihan yang mana?" Hanif bertanya masih dengan senyumnya. "Kalau seperti itu, senjanya diganti menjadi fajar saja, bulannya sudah menunggu semalaman, mataharinya terbit saat bulan mau pergi" Kataku sok menganalisis. "Senja dan fajar berbeda, Nafis. Ingat, menunggu hanya dimiliki orang-orang yang memiliki keyakinan. Kalau kita yakin pada apa yang kita tunggu, tidak perlu cemas dalam menunggu. Akan lebih baik lagi jika kita tak terlihat menunggu, tapi padahal kita sedang menunggu. Seperti bulan saat bertemu matahari di waktu senja, tak terlihat. Jangan menampakkan diri seperti menunggunya bulan di malam hari dan bertemu matahari di waktu fajar. Itulah mengapa senja lebih romantis dibanding fajar, setidaknya, itu menurutku" lagi-lagi Hanif tersenyum. Jawaban tentang mengapa ia menyukai senja membuatku kian terkagum padanya, sekaligus, itu penjelasan terpanjang yang baru ku dengar selama ia berbicara.

Kembali ke rumah makan tempat kami berteduh dari hujan. Hanif adalah pria sederhana dengan hati kayanya. Kenapa hatinya bisa kaya? karena ia selalu mensyukuri kehidupannya. Tandas pula hatiku padanya dengan segala kelebihan yang ia punya. Ia sangat pintar saat di sekolah. Itulah kenapa sekarang ia bisa berkuliah di Universitas Negri dengan dibiayai beasiswa full. Sambil sesekali bekerja disela-sela sibuk kuliahnya. "Nafis, malah bengong." katanya membuyarkan lamunanku. Ia menyodorkan teh hangat ke mejaku, dan ia sendiri menaruh kopi di mejanya. Aroma teh melati dan kopi hitam campur menjadi satu. Aroma yang selalu kami nikmati bersama. Hanif tau aku tak suka kopi, lambung tak kuat itu bukanlah mitos semata, akulah yang selalu merasakannya sehabis minum kopi. Kami meneguk minuman hangat di depan meja masing-masing. Perasaan hangat ini, tentu hanya kami yang tau. Perasaan saling mencintai sejak dulu. Perasaan yang selalu sampai lewat secangkir teh dan kopi. Setelah meminum sedikit, aku dan hanif tersenyum. Kemudian saling bilang "terimakasih". Tentu saja selalu dia yang pertama bilang "Terimakasih". Ia bilang, "Terimakasih karena selalu menemani kopiku". Sedangkan aku berterimakasih karena Hanif sudah pengertian walau tidak bisa sama-sama ngopi. :D
"Selalu ada pengganti sunset yang lebih baik."Katanya. Itulah kata-kata yang sering dia ucapkan saat tidak bisa menikmati senja. Entah itu karena hujan, tugas kuliah ataupun kerjaan mendesak yang membuatnya harus rela meninggalkan senja. "Melihat senja itu nikmat, melihat sunset itu nikmat plusnya"Hanif masih memandang hujan, langit mendung masih sedikit menyiratkan warna-warna jingga.

Aku masih sibuk menghirup sedikit-sedikit tehku sebelum akhirnya aku melihat sesuatu yang ganjil. Ada air yang mengalir di kedua pipi Hanif. Sepertinya Hanif menyadari aku tau ia menangis, langsung dihapusnya cepat2 air dikedua pipinya. "Kamu kenapa?" tanyaku heran. Ia mengeluarkan selembar kertas padaku. Surat tentang terpilihnya menjadi relawan ke Afghanistan. Aku ingat saat kecil ia bercerita ingin menjadi relawan di daerah konflik, khususnya Timur Tengah. Ia bilang, di sana jarang laut, ia sangat ingin bercerita pada orang-orang di sana tentang indahnya sunset. Tentu saja ku kira itu hanya cerita anak belaka. Tak ku sangka diam-diam ia mewujudkannya. Lalu kenapa sekarang ia malah menangis? aku menanyakannya lagi kenapa ia menangis, ia hanya tersenyum dan bilang "Sepertinya, aku tidak akan melihat sunset untuk waktu yang lama". Aku hanya tertawa dan menepuk pundaknya. Aku menghiburnya bahwa sunset tidak akan pernah pergi. Sedangkan kesempatan mewujudkan cita-cita tidak pernah datang dua kali. Seperti biasa ia hanya tersenyum sambil mengusap kepalaku.

♡♡♡♡♡

Siapa yang mengira kalau pesawat yang ditumpangi Hanif terjatuh di perairan laut jawa. Tak ada yang mengira perpisahan di Bandara Adi Sucipto kala itu menjadi yang terakhir kali aku melihatnya. Bebetapa korban ditemukan dalam kondisi menjadi jenazah semua. Namun tak ada Hanif diantara jenazah-jenazah itu. Hingga akhirnya tim SAR menghentikan pencarian korban pesawat setelah beberapa bulan. Tak sedikit korban yang hilang, tak ditemukan, termasuk Hanif.

Tiga bulan berlalu, setelah kepergian Hanif, aku masih rutin mengunjungi pantai saat senja. Baru ku pahami benar kalau senja, saat pertemuan matahari dan bulan, hanya bersifat sementara. Begitu pula kehidupan di dunia. Hanya sementara belaka, jika sudah waktunya, mautlah yang memisahkannya. Kian deras airmataku saat matahari mulai tak terlihat di ufuk timur. Dan pria yang saat ini selalu menemani senjaku, dialah Hamdani. Teman masa kecil juga, tapi dia kaka kelas. Dia mencintaiku juga dari kecil, tapi ia tau kepada siapa hatiku berharap, pada Hanif. Maka dengan besar hati ia hanya bisa melihat yang dicintainya bersama yang dicintainya. Setelah kepergian Hanif, ia datang. Ia berusaha menjadi seperti Hanif, mengusap kepalaku sambil tersenyum, menemani tiap senja, sedikit bicara, memunguti sampah di pantai, membuatkanku teh dan kopi untuknya. Awalnya, semua itu membuatku kian mengingat Hanif. Sering aku menangis saat Hamdani melakukan "ke-Hanif-annya" di depanku. Tapi ia segera tetap seperti Hanif. Sudah tiga bulan berlalu, dan aku mulai menerimanya. Aku sudah mulai tersenyum, bahkan tertawa saat bersamanya.

♤♤♤♤♤

Setahun kemudian,

"Mas, lihaat ini!" Kataku girang sambil menyerahkan hape ke Hamdani. Tertulis namaku sebagai observer kebudayaan di daerah Kalimantan. "Wah... akhirnya lolos juga kamu, Dek" Hamdani tersenyum riang. Proposal skripsi kebudayaan yang ku garap tak kuduga akan lolos di pusat penelitian kampus. Untuk dua minggu ke depan aku akan ke Kalimantan sebagai observer dengan beberapa mahasiswa lainnya. Aku teringat Hanif lagi, beginikah rasanya jika impian yang kau idamkan ternyata terwujud?
Sebulan kemudian aku berangkat ke Kalimantan. Sekujur tubuhku keringat dingin. Bukan karena baru pertama kali naik pesawat, terlebih karena aku jadi entah kenapa teringat Hanif. Bandara ini adalah tempatku terakhir kalinya melihat Hanif. Hamdani sangat tau apa yang menjadi pikiranku. "Allah bersamamu" katanya tenang. Sekejap aku menjadi tenang. Kemudian ia memberiku gantungan kunci berlafadz Allah, yang ku tau itu pemberian temannya dari Makkah. "Biar inget Allah terus" katanya. Segera ku baca ulang doa2 bepergian agar selamat. Dan benar saja, akhirnya aku sampai di Kalimantan dengan selamat.

Disana sudah ada tim dari kampus yang menunggu kami. Kami segera dibawa ke gedung pusat penelitian untuk setelahnya ke tempat penelitian di Pulau Karimata. Gefung Pusat Penelitian ini di pesisir pinggiran kota Pontianak. Pesisir lagi, batinku. Tiba-tiba kudengar suara "Syukuri saja, ya...". Aku terhenyak, melihat sekeliling. Hanya ada teman-temanku sibuk membawa koper. Segera ku tepis semua ingatan Hanif. Aku hanya akan meneliti disini dua minggu. Fokus, Nafis! gentakku dalam hati.

Keesokan harinya, kami bersiap-siap ke tempat objek penelitian. Setelah berkemas, bersiaplah kami menuju Pulau Karimata. Briefing, tata krama, adat istiadat, budaya kami pelajari terlebih dahulu. Tak sia-sia mencari referensi sampai ke perpus kota demi tahu daerah ini. Yang ada dibenak saat ini hanya skripsi terbaik. Ah, apa sih yang kupikirkan. Skripsi selesai saja sudah cukup untuk saat ini. Batinku tertawa.

Setelah 3 jam terapung-apung di atas kapal, karena aku mabuk laut, tidak ada yang dapat kunikmati selama perjalanan di atas laut. Untunglah teman-temanku sabar menghadapi teman ringkihnya ini. Segera tidurlah aku saat sampai di Homestay.

♧♧♧♧♧

Jam menunjuk pukul 4 sore. Homestay sepi, mungkin yang lain sedang memperkenalkan diri ke penduduk sekitar untuk beradaptasi. Aku segera shalat dan mandi, setelah itu aku makan. Yang lain masih belum datang. Aku keluar homestay untuk melihat sekitar. Beberapa anak kecil sedang bermain menatapku dengan aneh. Aku menghampiri mereka sambil tersenyum. "Hai adik-adik... lagi ngapain?"sapaku. Mereka berbisik-bisik namun masih terdengar, mereka memakai bahasa kalimantan. "Kenalin ya, kaka sekarang tinggal di situ, kakak mau belajar di sini sama kalian" aku merayu mereka lagi supaya tidak takut padaku. Mata mereka perlahan mulai tertarik, kemudian aku mulai bercerita tentang banyak hal. Mereka mulai tertawa, menimpali walau masih agak kaku berbahasa indonesia. Kemudian salah seorang anak mengajakku ke rumahnya. Tentu saja aku tak menolaknya.

Rumah anak tersebut dipinggir pantai, waktu menunjukkan pukul 05:10, senja mulai temaram. Keindahan alam di depanku tak terelakkan, mungkin karena beda tempat. Biasa melihat senja dan sunset di satu tempat ternyata membuatku melupakan banyak hal. Termasuk sunset di tempat lain. Seorang kakek tua keluar dari dalam rumah sambil membawa jala. Ia ramah menyambutku. "ini, kata cucu saya, ada orang yang ngomong pake bahasa Indonesia lagi, saya disuruh ngomong sama mbanya, hehehe" Kata si kakek sambil terkekeh. Aku ikut tertawa mengusap kepala si anak. "Iya ya, kok kakek lancar ya bahasa Indonesianya, biasanya malah orang yang tua yang agak susah pakai bahasa Indonesia, kek" kataku iseng bertanya. "Si Edang Janu itu yang ngajarin pakai bahasa Indonesia, pintar juga dia nangkap ikannya". kata si kakek, tanpa memperkenalkan Edang Janu. Aku mengangguk saja sambil tersenyum. "Diaa biasanya ada di pinggir sana tuh, lagi duduk, biasanya beli teh sama kopi di warung sini, pinter orangnya." Kakek menunjuk pinggiran pantai. Aku mulai sedikit terhentak. "Iya kak, tiap hari dia disitu, bawa kopi sama teh tapi tehnya ngga pernah diminum" Deg. Jantungku mulai berdegup kencang. "Dulu kan dia hampir mati tenggelam itu dulu di tengah laut, di tolong nelayan di dekat pulau maya." Deg. "Untung masih hidup, katanya kecapean renang, dia bilang dari pulau jawa" Deg. "Dia suka liatin matahari tenggelem, sering bilang senja-senja juga, kayanya dia agak gila juga dia kaya lupa ingatan" Deg. Air mataku mulai keluar. Aku langsung pamit kepada kakek dan cucunya yang terheran-heran melihatku menangis sambil berlarian ke sekitar pinggiran pantai. Benarkah? Edang Janu adalah dia? Aku melihat sekeliling, mencari-cari, ada beberapa nelayan yang juga heran melihatku. Aku hanya menyebutkan "Edang Janu?" kemudian mereka segera paham dan menunjuk sebuah saung reyot di samping pohon kelapa. Setelah berterimakasih aku langsung menuju tempat yang disebutkan.

Perlahan aku melongok ke saung itu, tak ada siapapun. Hanya ada secangkir teh dan secangkir kopi yang sudah tinggal setengah. Ini semua mimpi, kan? Airmataku tumpah, bagaimana jika ini semua hanya mimpi? Atau bagaimana jika ternyata Edang Janu bukan dia?

"Menunggu hanya milik orang yang punya keyakinan, bukan?" Bohong.... ini semua bohong kan? Suara di belakangku, kalimat yang sangat tak asing, nada bicara yang sangat ku kenali. Airmataku tumpah semua... ku balikan badan perlahan. Dia hitam, rambutnya gondrong, matanya menyiratkan penderitaan, bukan seperti Hanif. Tapi, senyuman itu... aku tahu pemilik senyum itu. sangat tau. Dia adalah Hanif, tetap Hanif yang dulu. Ia mendekatiku, dan mengusap kepalaku. Senja menyunggingkan senyumnya, Matahari dan bulan berjumpa di waktu yang telah ditentukan, bukan? saat senja.

Jakarta, 20/8/2016

Senin, 18 Juli 2016

Menunggu, Hanya Milik Orang yang Punya Keyakinan



Dik, apa itu menunggu?

Perkara menunggu hanya dilakukan oleh orang yang punya keyakinan. Sama halnya engkau menunggu antrian di dokter gigi, pasti menunggu giliran. Apa yang kau lakukan jika dikabarkan si dokter gigi datang terlambat? menunggu atau pulang saja? yang tidak sabar pasti langsung pulang dengan kicauan kesalnya, akhir-akhirnya gigi tak sembuh, tambah senut-senut iya. Lain halnya dengan pasien yang sabar, demi kesembuhan giginya, ia rela menunggu si dokter. biar sakit yang dirasakan mengiris-iris gusi (apasih), biarlah, asal ia bisa sembuh. tentu semua belum selesai saat si dokter datang. Malah saat si dokter datang, itu merupakan awal dari proses penyembuhan. Setelahnya adalah terus menerus mengikuti saran dokter dan rutin meminum obat. Senyum cerah menanti si pasien sabar ini.

Dik, apa itu menunggu?

Sekali lagi, perkara menunggu hanya dilakukan oleh orang yang punya keyakinan. Sama halnya engkau menunggu jodoh dari Allah, pasti ada waktunya. Apa yang kau lakukan jika jodoh yang dinanti tak kunjung datang? tetap menunggukah? atau berpaling ke jalan lain, berpacaran saja? orang yang tak sabar memilih berpacaran untuk mendapatkan jodohnya. baginya, berpacaran membuatnya lebih yakin dalam menemukan dan memilih jodohnya, padahal, itu jalan yang tidak diridhoi Allah. tambah dosa lah iya. Lain halnya dengan yang bersabar, demi ridho Allah, demi jodohnya yang baik, ia rela menunggu datangnya si jodoh seberapapun lamanya. Tentu semua belum selesai saat si jodoh datang. Saat si jodoh datang, itu merupakan awal dari proses panjang sebuah kehidupan. Setelahnya adalah terus menerus beribadah pada Allah. Kian konsisten menjalani segala perintahNya, menjauhi segala laranganNya.Senyum cerah menanti beriringan dengan masa depan cerah yang diridhoi Allah.



Dik, apa itu menunggu?

Yakin, yakin, yakin bahwa yang ditunggu pasti datang. Jangan menunggu jika tidak punya keyakinan. Cara paling terhormat adalah menunggu. biar sendiri, biar hanya bertemankan ilalang, biar ditinggalkan karena menolak pacaran. semuanya bukanlah apa-apa demi menanti hasil dalam penantian panjang.

Dik, apa itu menunggu?

Proses paling panjang penuh liku, duka dan luka. Karena di dalam menunggu terdapat kerinduan tak terperi, air mata permohonan (hanya pada Allah ya...), serta penantian yang rasanya tiada akhir.

Dik, apa itu menunggu?

Kesabaran panjang yang pasti akan usai. Sungguh, Allah bersama orang-orang yang sabar. Kesabaran akan menghasilkan sesuatu yang tak disangka-sangka. Kebahagiaan bersemayam di hati orang-orang yang bersabar.

Dik, sampai kapan Mas harus menunggumu?

*Kabuuuuuuuurr* 😂😂😂😂

Jkt18 of Julay '16
Si penunggu.

Senin, 11 Juli 2016

Shalatku Shalat Apa?




Sebenarnya…
Shalatku shalat apa?
Masih berani maksiat saja
Dosa dilakukan seolah tak berdosa
Suudzon, Ghibah, Ujub tak ada habisnya
Quran sekedar bacaan saja
Hidup seakan selamanya

Sebenarnya,
Shalatku shalat apa?
Belum bisa menentramkan jiwa
Was-was, Takut, Gelisah menghantui sukma
Yang sayangnya
Hanya menggelisahkan soal dunia

Yaa Allah…
Sesungguhnya amalan yang pertama ditanyakan dalam kubur adalah shalat
Bagaimana aku harus berhujjah dihadapanMu nanti?
Apa yang kulakukan dalam shalat-shalatku selama ini?
Sudah sahkan wudhuku?
Sucikah pakaianku?
Yakinkah niatku karenaMu?

Karenanya…
Wahai Yang Maha Pengasih dan Tak Pilih Kasih
Lembutkanlah hatiku dari kerasnya hati
Beri hidayah dalam hati dan jangan pernah melencengkan lagi
Bukalah hatiku seperti futuhnya orang-orang Arif…

إن الصلاة تنهي عن الفحشاء و المنكر...

Sungguh shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar

رب اجعلني مقيم الصلاة و من ذريتي.....

Yaa Allah, jadikan aku dan dzurriyatku termasuk orang- orang yang mendirikan shalat

إن صلاتي و نسكي و محياي و مماتي لله رب العالمين....

Sungguh, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku karena Allah, Pangeran seru sekalian alam

Depok, 6 Syawal 1437 H
Orang yang masih, sedang, terus belajar shalat

Hadza Syahr.

Senin, 18 April 2016

MAKAM

MAKAM


tabur bunga kenangan
saputangan perpisahan
doa mengiris kalbu muram
air mata pereda kelam

duhai...
meratapku di puncak gunung
langit malam turut berkabung
kabut indah bergulung- gulung
pada edelwise ku bersenandung
Andai ada engkau...

duhai...
kala indah senja tak terlukiskan
air mata jatuh tak tertahankan
angin sore menerpa perlahan
pada langit jingga ku bisikan
andai ada engkau...



duhai...
debur ombak bernyanyi suram
merenungku di tepian kelam
sendirian hingga disambut malam
pada kilau laut ku bergumam
andai ada engkau...

duhai...
ada yang sengaja berkunjung
ke tempat terindah dan terbaik
untuk memakamkan rindu
agar tercipta kesepian baru

makam rindu,
untukmu yang selalu ku rindu
untukmu yang tak pernah merindu
untukku yang selalu merindu
untukku yang tak pernah dirindu


Jakarta, beberapa hari setelah ulang tahun kita.
andai kau aktifkan WA~
Syahr 'Aasyir min hijriyah (aku mah apa atuh, hanya jd yg ke 10... :')







Selasa, 22 Maret 2016

Malam, Jikustik, Puisi dalam Puisi

Puisi

Pada suatu ketika, aku menemukan sebuah lagu,
 lagu jadul nan merdu.
 Dari jikustik yang sering kudengar saat SMP dahulu.
mengingatkanku, sebuah kisah syahdu...
seonggok kenangan masa lalu,
 dibungkus dalam puisi rindu.


Mungkin semua puisiku dibuang,
mungkin semua puisiku hilang,
mungkin semua puisiku terbang,
oh... puisiku malang

Kau abaikan
membaca pun sungkan
Kau tinggalkan
membalas pun enggan

Ribuan puisi yang ku layangkan
Melayang layang,
Di langit kenangan.

Ah, sudahlah, Wal..
Jangan kau sesali dari awal
Semoga menjadi pelipur
merenungi penuh syukur.

Jakarta, 22 maret 2016,
sedang baper-bapernya, ditemani lagu 'untuk dikenang' jikustik.


Untuk dikenang

Ingat aku, saat kau lewati
Jalan ini, setapak berbatu
Kenang aku, bila kau dengarkan
Lagu ini, terlantun perlahan

Reff:
Barisan puisi ini
Adalah yang aku punya
Mungkin akan kau lupakan
Atau untuk dikenang

Ingat aku bila kau terasing
Dalam gelap keramaian kota

Reff:
Tulisan dariku ini
Mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan
Atau untuk dikenang

Doakanlah aku malam ini
Sebelum kau, mengarungi malam

thanks to: Jikustik, mas Pongky, Malam, Puisi, Kenangan dan kamu 👉





Kamis, 17 Maret 2016

Kopi






KOPI

Pada hujan kali ini,
ada aroma kopi hitam
di hariku yang suram
di hatiku yang muram

Pada hujan kali ini,
ada secangkir kopi hangat
bagai rindu yang tersirat
kian lama kian pekat

Pada hujan kali ini,
ada kopi yang teracuhkan
merasa terabaikan
teronggok kasihan

Pada hujan kali ini,
ampas kopi telah mengering
membekas di tepian piring
seperti kenangan yang berkeping-keping

Duhai...
apalah arti rindu yang kau celupkan
pada secangkir kopi
apalah arti bersama yang kau katakan
di depan secangkir kopi
apalah arti menunggu jika dingin menyelimuti
hangatnya kopi

Pada hujan kali ini,
ada jejakmu yang tertinggal
rindumu yang tercecer
dan cintaku yang mengalir

Hujan hanya membisu
Mengalunkan syair rintik merdu
Untuk engkau yang ku rindu
Kapankah engkau melihatku?

Jakarta, 17 Maret 2016
Untuk hujan dan kopi
yang selalu menginspirasi

by. Syawaliyah Faisal ^^