Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen: Pria Penikmat Senja



Langit senja hari ini begitu bersih. Awan yang berarak telah pergi tersapu angin sore. Kemilau jingga berkilauan di permukaan air laut nan tenang. Hanya desiran ombak yang memecah lamunan kala itu. Seperti biasa, aku menunggu sunset. Menikmati romantisnya senja sambil berjalan di tepi pantai. Sesekali membetulkan jilbab yang berkibar tertiup angin pantai. Lalu sesekali mengusap air yang membasahi pipi.

"Dek, ayo pulang..." itulah kalimat yang ku dengar jika airmataku sudah turun. Suara itu disusul usapan lembut tangannya di kepalaku. Dia adalah pria yang selalu menemaniku menunggu sunset. Menunggu dengan sabar tanpa bicara apapun. Menikmati langkahku berjalan di tepian pantai. Sampai sunset dan airmataku tenggelam, ia baru mengajak pulang.

♢♢♢♢♢

Tiga bulan yang lalu,

"Kita ngga bisa liat sunset yaa hari ini..." Kataku mengeluh sambil menopang dagu di jendela sebuah rumah makan tak jauh dari pantai. Hujan turun tiba-tiba dengan derasnya saat kami sudah dikit lagi sampai ke pantai. Lagi dan selalu, tangannya mengusap kepalaku dengan lembutnya, sambil tersenyum, dia mengucapkan mantra andalannya,"Syukuri saja, ya...". Dia adalah Hanif, pria yang telah membuat hidupku lebih berwarna. Dia teman kecilku, rumahnya hanya beda satu gang dari rumahku. Sebagai anak pesisir, sudah wajar dari kecil kami suka bermain di pantai. Tak seperti anak pesisir lainnya yang bosan dengan kehidupan pantai dan laut, Hanif malah kian mencintai laut dan pantai. Ia sering memunguti sampah yang ada di pantai. "Biar bersih" katanya sambil tersenyum. Ia jarang berbicara, hanya bicara yang penting2 saja.

Hanif adalah pria penikmat senja. Tiap sore setelah pulang kuliah atau bekerja, ia tak langsung pulang ke rumah. Pernah aku menanyakan kenapa ia sangat menyukai senja, "Karena senja romantis" katanya singkat. Aku menatapnya bingung, meminta penjelasan lanjut."Alam mengajarkan banyak kehidupan. Salah satunya langit senja ini. Dimana ada pertemuan dan perpisahan terjadi dalam satu waktu. Tau siapa mereka, Fis?" Hanif bertanya padaku sambil menatap sunset di depannya. "Matahari dan bulan?" kataku polos. "Benar, Nafis. Matahari yang seharian menerangi bumi akhirnya bersua dengan sang bulan di waktu senja. Hanya sebentar hingga akhirnya mereka berpisah. Menurutmu, siapa yang paling sedih di sini? Matahari atau bulan?" aku langsung menjawab,"Matahari dong, kan dia udah seharian nunggu bulan di siang hari, eehhh malah si bulan munculnya pas matahari mau pergi. Menunggu itu kan menjemukan, kata Anda di AADC, haha" Hanif ikut tertawa kecil. "Nafis... Matahari itu hanya diam di tempat, ia hanya berputar pada porosnya, sedangkan bulan mengitari bumi dan juga berputar pada porosnya. Yang lebih banyak bergerak adalah bulan, kan? tapi yang terlihat bergerak seolah-olah menunggu adalah matahari. Saat berjumpa pun, bulan malah ditinggalkan matahari. Sedihan yang mana?" Hanif bertanya masih dengan senyumnya. "Kalau seperti itu, senjanya diganti menjadi fajar saja, bulannya sudah menunggu semalaman, mataharinya terbit saat bulan mau pergi" Kataku sok menganalisis. "Senja dan fajar berbeda, Nafis. Ingat, menunggu hanya dimiliki orang-orang yang memiliki keyakinan. Kalau kita yakin pada apa yang kita tunggu, tidak perlu cemas dalam menunggu. Akan lebih baik lagi jika kita tak terlihat menunggu, tapi padahal kita sedang menunggu. Seperti bulan saat bertemu matahari di waktu senja, tak terlihat. Jangan menampakkan diri seperti menunggunya bulan di malam hari dan bertemu matahari di waktu fajar. Itulah mengapa senja lebih romantis dibanding fajar, setidaknya, itu menurutku" lagi-lagi Hanif tersenyum. Jawaban tentang mengapa ia menyukai senja membuatku kian terkagum padanya, sekaligus, itu penjelasan terpanjang yang baru ku dengar selama ia berbicara.

Kembali ke rumah makan tempat kami berteduh dari hujan. Hanif adalah pria sederhana dengan hati kayanya. Kenapa hatinya bisa kaya? karena ia selalu mensyukuri kehidupannya. Tandas pula hatiku padanya dengan segala kelebihan yang ia punya. Ia sangat pintar saat di sekolah. Itulah kenapa sekarang ia bisa berkuliah di Universitas Negri dengan dibiayai beasiswa full. Sambil sesekali bekerja disela-sela sibuk kuliahnya. "Nafis, malah bengong." katanya membuyarkan lamunanku. Ia menyodorkan teh hangat ke mejaku, dan ia sendiri menaruh kopi di mejanya. Aroma teh melati dan kopi hitam campur menjadi satu. Aroma yang selalu kami nikmati bersama. Hanif tau aku tak suka kopi, lambung tak kuat itu bukanlah mitos semata, akulah yang selalu merasakannya sehabis minum kopi. Kami meneguk minuman hangat di depan meja masing-masing. Perasaan hangat ini, tentu hanya kami yang tau. Perasaan saling mencintai sejak dulu. Perasaan yang selalu sampai lewat secangkir teh dan kopi. Setelah meminum sedikit, aku dan hanif tersenyum. Kemudian saling bilang "terimakasih". Tentu saja selalu dia yang pertama bilang "Terimakasih". Ia bilang, "Terimakasih karena selalu menemani kopiku". Sedangkan aku berterimakasih karena Hanif sudah pengertian walau tidak bisa sama-sama ngopi. :D
"Selalu ada pengganti sunset yang lebih baik."Katanya. Itulah kata-kata yang sering dia ucapkan saat tidak bisa menikmati senja. Entah itu karena hujan, tugas kuliah ataupun kerjaan mendesak yang membuatnya harus rela meninggalkan senja. "Melihat senja itu nikmat, melihat sunset itu nikmat plusnya"Hanif masih memandang hujan, langit mendung masih sedikit menyiratkan warna-warna jingga.

Aku masih sibuk menghirup sedikit-sedikit tehku sebelum akhirnya aku melihat sesuatu yang ganjil. Ada air yang mengalir di kedua pipi Hanif. Sepertinya Hanif menyadari aku tau ia menangis, langsung dihapusnya cepat2 air dikedua pipinya. "Kamu kenapa?" tanyaku heran. Ia mengeluarkan selembar kertas padaku. Surat tentang terpilihnya menjadi relawan ke Afghanistan. Aku ingat saat kecil ia bercerita ingin menjadi relawan di daerah konflik, khususnya Timur Tengah. Ia bilang, di sana jarang laut, ia sangat ingin bercerita pada orang-orang di sana tentang indahnya sunset. Tentu saja ku kira itu hanya cerita anak belaka. Tak ku sangka diam-diam ia mewujudkannya. Lalu kenapa sekarang ia malah menangis? aku menanyakannya lagi kenapa ia menangis, ia hanya tersenyum dan bilang "Sepertinya, aku tidak akan melihat sunset untuk waktu yang lama". Aku hanya tertawa dan menepuk pundaknya. Aku menghiburnya bahwa sunset tidak akan pernah pergi. Sedangkan kesempatan mewujudkan cita-cita tidak pernah datang dua kali. Seperti biasa ia hanya tersenyum sambil mengusap kepalaku.

♡♡♡♡♡

Siapa yang mengira kalau pesawat yang ditumpangi Hanif terjatuh di perairan laut jawa. Tak ada yang mengira perpisahan di Bandara Adi Sucipto kala itu menjadi yang terakhir kali aku melihatnya. Bebetapa korban ditemukan dalam kondisi menjadi jenazah semua. Namun tak ada Hanif diantara jenazah-jenazah itu. Hingga akhirnya tim SAR menghentikan pencarian korban pesawat setelah beberapa bulan. Tak sedikit korban yang hilang, tak ditemukan, termasuk Hanif.

Tiga bulan berlalu, setelah kepergian Hanif, aku masih rutin mengunjungi pantai saat senja. Baru ku pahami benar kalau senja, saat pertemuan matahari dan bulan, hanya bersifat sementara. Begitu pula kehidupan di dunia. Hanya sementara belaka, jika sudah waktunya, mautlah yang memisahkannya. Kian deras airmataku saat matahari mulai tak terlihat di ufuk timur. Dan pria yang saat ini selalu menemani senjaku, dialah Hamdani. Teman masa kecil juga, tapi dia kaka kelas. Dia mencintaiku juga dari kecil, tapi ia tau kepada siapa hatiku berharap, pada Hanif. Maka dengan besar hati ia hanya bisa melihat yang dicintainya bersama yang dicintainya. Setelah kepergian Hanif, ia datang. Ia berusaha menjadi seperti Hanif, mengusap kepalaku sambil tersenyum, menemani tiap senja, sedikit bicara, memunguti sampah di pantai, membuatkanku teh dan kopi untuknya. Awalnya, semua itu membuatku kian mengingat Hanif. Sering aku menangis saat Hamdani melakukan "ke-Hanif-annya" di depanku. Tapi ia segera tetap seperti Hanif. Sudah tiga bulan berlalu, dan aku mulai menerimanya. Aku sudah mulai tersenyum, bahkan tertawa saat bersamanya.

♤♤♤♤♤

Setahun kemudian,

"Mas, lihaat ini!" Kataku girang sambil menyerahkan hape ke Hamdani. Tertulis namaku sebagai observer kebudayaan di daerah Kalimantan. "Wah... akhirnya lolos juga kamu, Dek" Hamdani tersenyum riang. Proposal skripsi kebudayaan yang ku garap tak kuduga akan lolos di pusat penelitian kampus. Untuk dua minggu ke depan aku akan ke Kalimantan sebagai observer dengan beberapa mahasiswa lainnya. Aku teringat Hanif lagi, beginikah rasanya jika impian yang kau idamkan ternyata terwujud?
Sebulan kemudian aku berangkat ke Kalimantan. Sekujur tubuhku keringat dingin. Bukan karena baru pertama kali naik pesawat, terlebih karena aku jadi entah kenapa teringat Hanif. Bandara ini adalah tempatku terakhir kalinya melihat Hanif. Hamdani sangat tau apa yang menjadi pikiranku. "Allah bersamamu" katanya tenang. Sekejap aku menjadi tenang. Kemudian ia memberiku gantungan kunci berlafadz Allah, yang ku tau itu pemberian temannya dari Makkah. "Biar inget Allah terus" katanya. Segera ku baca ulang doa2 bepergian agar selamat. Dan benar saja, akhirnya aku sampai di Kalimantan dengan selamat.

Disana sudah ada tim dari kampus yang menunggu kami. Kami segera dibawa ke gedung pusat penelitian untuk setelahnya ke tempat penelitian di Pulau Karimata. Gefung Pusat Penelitian ini di pesisir pinggiran kota Pontianak. Pesisir lagi, batinku. Tiba-tiba kudengar suara "Syukuri saja, ya...". Aku terhenyak, melihat sekeliling. Hanya ada teman-temanku sibuk membawa koper. Segera ku tepis semua ingatan Hanif. Aku hanya akan meneliti disini dua minggu. Fokus, Nafis! gentakku dalam hati.

Keesokan harinya, kami bersiap-siap ke tempat objek penelitian. Setelah berkemas, bersiaplah kami menuju Pulau Karimata. Briefing, tata krama, adat istiadat, budaya kami pelajari terlebih dahulu. Tak sia-sia mencari referensi sampai ke perpus kota demi tahu daerah ini. Yang ada dibenak saat ini hanya skripsi terbaik. Ah, apa sih yang kupikirkan. Skripsi selesai saja sudah cukup untuk saat ini. Batinku tertawa.

Setelah 3 jam terapung-apung di atas kapal, karena aku mabuk laut, tidak ada yang dapat kunikmati selama perjalanan di atas laut. Untunglah teman-temanku sabar menghadapi teman ringkihnya ini. Segera tidurlah aku saat sampai di Homestay.

♧♧♧♧♧

Jam menunjuk pukul 4 sore. Homestay sepi, mungkin yang lain sedang memperkenalkan diri ke penduduk sekitar untuk beradaptasi. Aku segera shalat dan mandi, setelah itu aku makan. Yang lain masih belum datang. Aku keluar homestay untuk melihat sekitar. Beberapa anak kecil sedang bermain menatapku dengan aneh. Aku menghampiri mereka sambil tersenyum. "Hai adik-adik... lagi ngapain?"sapaku. Mereka berbisik-bisik namun masih terdengar, mereka memakai bahasa kalimantan. "Kenalin ya, kaka sekarang tinggal di situ, kakak mau belajar di sini sama kalian" aku merayu mereka lagi supaya tidak takut padaku. Mata mereka perlahan mulai tertarik, kemudian aku mulai bercerita tentang banyak hal. Mereka mulai tertawa, menimpali walau masih agak kaku berbahasa indonesia. Kemudian salah seorang anak mengajakku ke rumahnya. Tentu saja aku tak menolaknya.

Rumah anak tersebut dipinggir pantai, waktu menunjukkan pukul 05:10, senja mulai temaram. Keindahan alam di depanku tak terelakkan, mungkin karena beda tempat. Biasa melihat senja dan sunset di satu tempat ternyata membuatku melupakan banyak hal. Termasuk sunset di tempat lain. Seorang kakek tua keluar dari dalam rumah sambil membawa jala. Ia ramah menyambutku. "ini, kata cucu saya, ada orang yang ngomong pake bahasa Indonesia lagi, saya disuruh ngomong sama mbanya, hehehe" Kata si kakek sambil terkekeh. Aku ikut tertawa mengusap kepala si anak. "Iya ya, kok kakek lancar ya bahasa Indonesianya, biasanya malah orang yang tua yang agak susah pakai bahasa Indonesia, kek" kataku iseng bertanya. "Si Edang Janu itu yang ngajarin pakai bahasa Indonesia, pintar juga dia nangkap ikannya". kata si kakek, tanpa memperkenalkan Edang Janu. Aku mengangguk saja sambil tersenyum. "Diaa biasanya ada di pinggir sana tuh, lagi duduk, biasanya beli teh sama kopi di warung sini, pinter orangnya." Kakek menunjuk pinggiran pantai. Aku mulai sedikit terhentak. "Iya kak, tiap hari dia disitu, bawa kopi sama teh tapi tehnya ngga pernah diminum" Deg. Jantungku mulai berdegup kencang. "Dulu kan dia hampir mati tenggelam itu dulu di tengah laut, di tolong nelayan di dekat pulau maya." Deg. "Untung masih hidup, katanya kecapean renang, dia bilang dari pulau jawa" Deg. "Dia suka liatin matahari tenggelem, sering bilang senja-senja juga, kayanya dia agak gila juga dia kaya lupa ingatan" Deg. Air mataku mulai keluar. Aku langsung pamit kepada kakek dan cucunya yang terheran-heran melihatku menangis sambil berlarian ke sekitar pinggiran pantai. Benarkah? Edang Janu adalah dia? Aku melihat sekeliling, mencari-cari, ada beberapa nelayan yang juga heran melihatku. Aku hanya menyebutkan "Edang Janu?" kemudian mereka segera paham dan menunjuk sebuah saung reyot di samping pohon kelapa. Setelah berterimakasih aku langsung menuju tempat yang disebutkan.

Perlahan aku melongok ke saung itu, tak ada siapapun. Hanya ada secangkir teh dan secangkir kopi yang sudah tinggal setengah. Ini semua mimpi, kan? Airmataku tumpah, bagaimana jika ini semua hanya mimpi? Atau bagaimana jika ternyata Edang Janu bukan dia?

"Menunggu hanya milik orang yang punya keyakinan, bukan?" Bohong.... ini semua bohong kan? Suara di belakangku, kalimat yang sangat tak asing, nada bicara yang sangat ku kenali. Airmataku tumpah semua... ku balikan badan perlahan. Dia hitam, rambutnya gondrong, matanya menyiratkan penderitaan, bukan seperti Hanif. Tapi, senyuman itu... aku tahu pemilik senyum itu. sangat tau. Dia adalah Hanif, tetap Hanif yang dulu. Ia mendekatiku, dan mengusap kepalaku. Senja menyunggingkan senyumnya, Matahari dan bulan berjumpa di waktu yang telah ditentukan, bukan? saat senja.

Jakarta, 20/8/2016

Senin, 18 Juli 2016

Menunggu, Hanya Milik Orang yang Punya Keyakinan



Dik, apa itu menunggu?

Perkara menunggu hanya dilakukan oleh orang yang punya keyakinan. Sama halnya engkau menunggu antrian di dokter gigi, pasti menunggu giliran. Apa yang kau lakukan jika dikabarkan si dokter gigi datang terlambat? menunggu atau pulang saja? yang tidak sabar pasti langsung pulang dengan kicauan kesalnya, akhir-akhirnya gigi tak sembuh, tambah senut-senut iya. Lain halnya dengan pasien yang sabar, demi kesembuhan giginya, ia rela menunggu si dokter. biar sakit yang dirasakan mengiris-iris gusi (apasih), biarlah, asal ia bisa sembuh. tentu semua belum selesai saat si dokter datang. Malah saat si dokter datang, itu merupakan awal dari proses penyembuhan. Setelahnya adalah terus menerus mengikuti saran dokter dan rutin meminum obat. Senyum cerah menanti si pasien sabar ini.

Dik, apa itu menunggu?

Sekali lagi, perkara menunggu hanya dilakukan oleh orang yang punya keyakinan. Sama halnya engkau menunggu jodoh dari Allah, pasti ada waktunya. Apa yang kau lakukan jika jodoh yang dinanti tak kunjung datang? tetap menunggukah? atau berpaling ke jalan lain, berpacaran saja? orang yang tak sabar memilih berpacaran untuk mendapatkan jodohnya. baginya, berpacaran membuatnya lebih yakin dalam menemukan dan memilih jodohnya, padahal, itu jalan yang tidak diridhoi Allah. tambah dosa lah iya. Lain halnya dengan yang bersabar, demi ridho Allah, demi jodohnya yang baik, ia rela menunggu datangnya si jodoh seberapapun lamanya. Tentu semua belum selesai saat si jodoh datang. Saat si jodoh datang, itu merupakan awal dari proses panjang sebuah kehidupan. Setelahnya adalah terus menerus beribadah pada Allah. Kian konsisten menjalani segala perintahNya, menjauhi segala laranganNya.Senyum cerah menanti beriringan dengan masa depan cerah yang diridhoi Allah.



Dik, apa itu menunggu?

Yakin, yakin, yakin bahwa yang ditunggu pasti datang. Jangan menunggu jika tidak punya keyakinan. Cara paling terhormat adalah menunggu. biar sendiri, biar hanya bertemankan ilalang, biar ditinggalkan karena menolak pacaran. semuanya bukanlah apa-apa demi menanti hasil dalam penantian panjang.

Dik, apa itu menunggu?

Proses paling panjang penuh liku, duka dan luka. Karena di dalam menunggu terdapat kerinduan tak terperi, air mata permohonan (hanya pada Allah ya...), serta penantian yang rasanya tiada akhir.

Dik, apa itu menunggu?

Kesabaran panjang yang pasti akan usai. Sungguh, Allah bersama orang-orang yang sabar. Kesabaran akan menghasilkan sesuatu yang tak disangka-sangka. Kebahagiaan bersemayam di hati orang-orang yang bersabar.

Dik, sampai kapan Mas harus menunggumu?

*Kabuuuuuuuurr* ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

Jkt18 of Julay '16
Si penunggu.

Senin, 11 Juli 2016

Shalatku Shalat Apa?




Sebenarnya…
Shalatku shalat apa?
Masih berani maksiat saja
Dosa dilakukan seolah tak berdosa
Suudzon, Ghibah, Ujub tak ada habisnya
Quran sekedar bacaan saja
Hidup seakan selamanya

Sebenarnya,
Shalatku shalat apa?
Belum bisa menentramkan jiwa
Was-was, Takut, Gelisah menghantui sukma
Yang sayangnya
Hanya menggelisahkan soal dunia

Yaa Allah…
Sesungguhnya amalan yang pertama ditanyakan dalam kubur adalah shalat
Bagaimana aku harus berhujjah dihadapanMu nanti?
Apa yang kulakukan dalam shalat-shalatku selama ini?
Sudah sahkan wudhuku?
Sucikah pakaianku?
Yakinkah niatku karenaMu?

Karenanya…
Wahai Yang Maha Pengasih dan Tak Pilih Kasih
Lembutkanlah hatiku dari kerasnya hati
Beri hidayah dalam hati dan jangan pernah melencengkan lagi
Bukalah hatiku seperti futuhnya orang-orang Arif…

ุฅู† ุงู„ุตู„ุงุฉ ุชู†ู‡ูŠ ุนู† ุงู„ูุญุดุงุก ูˆ ุงู„ู…ู†ูƒุฑ...

Sungguh shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar

ุฑุจ ุงุฌุนู„ู†ูŠ ู…ู‚ูŠู… ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆ ู…ู† ุฐุฑูŠุชูŠ.....

Yaa Allah, jadikan aku dan dzurriyatku termasuk orang- orang yang mendirikan shalat

ุฅู† ุตู„ุงุชูŠ ูˆ ู†ุณูƒูŠ ูˆ ู…ุญูŠุงูŠ ูˆ ู…ู…ุงุชูŠ ู„ู„ู‡ ุฑุจ ุงู„ุนุงู„ู…ูŠู†....

Sungguh, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku karena Allah, Pangeran seru sekalian alam

Depok, 6 Syawal 1437 H
Orang yang masih, sedang, terus belajar shalat

Hadza Syahr.

Senin, 18 April 2016

MAKAM

MAKAM


tabur bunga kenangan
saputangan perpisahan
doa mengiris kalbu muram
air mata pereda kelam

duhai...
meratapku di puncak gunung
langit malam turut berkabung
kabut indah bergulung- gulung
pada edelwise ku bersenandung
Andai ada engkau...

duhai...
kala indah senja tak terlukiskan
air mata jatuh tak tertahankan
angin sore menerpa perlahan
pada langit jingga ku bisikan
andai ada engkau...



duhai...
debur ombak bernyanyi suram
merenungku di tepian kelam
sendirian hingga disambut malam
pada kilau laut ku bergumam
andai ada engkau...

duhai...
ada yang sengaja berkunjung
ke tempat terindah dan terbaik
untuk memakamkan rindu
agar tercipta kesepian baru

makam rindu,
untukmu yang selalu ku rindu
untukmu yang tak pernah merindu
untukku yang selalu merindu
untukku yang tak pernah dirindu


Jakarta, beberapa hari setelah ulang tahun kita.
andai kau aktifkan WA~
Syahr 'Aasyir min hijriyah (aku mah apa atuh, hanya jd yg ke 10... :')







Selasa, 22 Maret 2016

Malam, Jikustik, Puisi dalam Puisi

Puisi

Pada suatu ketika, aku menemukan sebuah lagu,
 lagu jadul nan merdu.
 Dari jikustik yang sering kudengar saat SMP dahulu.
mengingatkanku, sebuah kisah syahdu...
seonggok kenangan masa lalu,
 dibungkus dalam puisi rindu.


Mungkin semua puisiku dibuang,
mungkin semua puisiku hilang,
mungkin semua puisiku terbang,
oh... puisiku malang

Kau abaikan
membaca pun sungkan
Kau tinggalkan
membalas pun enggan

Ribuan puisi yang ku layangkan
Melayang layang,
Di langit kenangan.

Ah, sudahlah, Wal..
Jangan kau sesali dari awal
Semoga menjadi pelipur
merenungi penuh syukur.

Jakarta, 22 maret 2016,
sedang baper-bapernya, ditemani lagu 'untuk dikenang' jikustik.


Untuk dikenang

Ingat aku, saat kau lewati
Jalan ini, setapak berbatu
Kenang aku, bila kau dengarkan
Lagu ini, terlantun perlahan

Reff:
Barisan puisi ini
Adalah yang aku punya
Mungkin akan kau lupakan
Atau untuk dikenang

Ingat aku bila kau terasing
Dalam gelap keramaian kota

Reff:
Tulisan dariku ini
Mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan
Atau untuk dikenang

Doakanlah aku malam ini
Sebelum kau, mengarungi malam

thanks to: Jikustik, mas Pongky, Malam, Puisi, Kenangan dan kamu ๐Ÿ‘‰





Kamis, 17 Maret 2016

Kopi






KOPI

Pada hujan kali ini,
ada aroma kopi hitam
di hariku yang suram
di hatiku yang muram

Pada hujan kali ini,
ada secangkir kopi hangat
bagai rindu yang tersirat
kian lama kian pekat

Pada hujan kali ini,
ada kopi yang teracuhkan
merasa terabaikan
teronggok kasihan

Pada hujan kali ini,
ampas kopi telah mengering
membekas di tepian piring
seperti kenangan yang berkeping-keping

Duhai...
apalah arti rindu yang kau celupkan
pada secangkir kopi
apalah arti bersama yang kau katakan
di depan secangkir kopi
apalah arti menunggu jika dingin menyelimuti
hangatnya kopi

Pada hujan kali ini,
ada jejakmu yang tertinggal
rindumu yang tercecer
dan cintaku yang mengalir

Hujan hanya membisu
Mengalunkan syair rintik merdu
Untuk engkau yang ku rindu
Kapankah engkau melihatku?

Jakarta, 17 Maret 2016
Untuk hujan dan kopi
yang selalu menginspirasi

by. Syawaliyah Faisal ^^


Kamis, 10 Maret 2016

Beberapa Tips Jawaban Jika Ada yang Mengejek Kenapa Kita Sangat Tergila-gila dengan Anime

Semua pecinta anime ataupun manga pasti selalu bertemu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:  “Apa asiknya sih nonton begituan?”, “Yaelah, gambar-gambar gak jelas aja ditonton”, “Udah gede masih aja nonton begituan”, “Heran gua, nonton begituan aja ampe pada nangis-nangis” dan sejenisnya. Biasanya pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari keluarga, sahabat, teman dekat, atau paling parah para haters-nya anime. Sebagai seorang animelovers tentu kita akan berusaha mati-matian menjelaskan betapa kerennya ‘anime’ itu. dan memang sudah wajar jika orang-orang tidak mengerti apa yang kita jelaskan, karena menyukai sesuatu tidaklah mudah. Perlu waktu untuk menyukai suatu hal, jadi sabar saja ya jika ada orang yang mengejek kamu tentang anime yang kamu tonton.
Tapi tulisan ini tidak berlaku bila kita berpikiran masa bodo dengan orang-orang yang mau berbicara jelek tentang anime, toh mereka tidak mengerti apa-apa, jadi biarlah orang berkata apa~ kemudian kita hanya menjawab, “anime tuh seru tau!!” tanpa penjelasan.
Sebenarnya semuanya akan berhasil jika sudah ada chemistry, kecocokan antara anime dan lovers-nya. Jadi, usahakan agar teman-teman kita ikut menonton juga animenya. Dan baiklah, ini  beberapa tips saat kamu ditanya (atau lebih tepatnya diejek) kenapa tergila-gila sama anime:
·         “Ayo ikut nonton, gua gak bisa jelasin kalo lu gak nonton dulu”. Ini jawaban ‘cari aman’ untuk animelovers yang susah atau malas menjelaskan pertanyaan sejenis di atas. Dengan mengajak menontonnya terlebih dahulu, dia akan tahu bagaimana jalannya cerita dan kalau bisa kalian juga menjelaskan bagian-bagian serunya, dan terutama pesan moralnya. Jadi tidak perlu banyak cincong untuk menjelaskannya. Salah satu teman saya yang tadinya tidak suka anime, suka film yang penuh darah-darah, gore, lalu saya taruh saja di flashdisknya anime Shingeki no Kyojin. Pada akhirnya dia menonton SNK khatam dalam waktu semalam.

·         “Di anime itu daya imajinasinya tinggi, bagus loh buat otak”. Atau kalau kalian sudah kesal dengan ejekan mereka, bisa ditambah, “mungkin daya imajinasi kalian beda dengan daya imajinasi gua” (tapi jangan deh ya, kesannya terlalu kasar). Memang benar adanya, anime mempunyai daya imajinasi yang tinggi, para mangaka hebatlah yang membuatnya. Membuat cerita sedemikian bagusnya dalam kemasan anime. Ditambah lagi dengan menggambar karakter beserta lainnya sangatlah membutuhkan banyak pemikiran. Kalau di film, karakter bisa dicari lewat aktor dan aktris, setting latar bisa dicari. Namun di anime butuh pemikiran lagi untuk (benar-benar) menggambarkan semuanya, setting latar, wujud si karakter beserta dubber yang sesuai.

·         “Membuat anime itu sulit, jadi belajarlah menghargai hasil karya orang lain”. Ini berlaku pada semua karya. Semuanya pasti ada proses panjangnya. Kasih anime bakuman kalau dia tidak percaya. Dan hati-hati juga dengan jawaban ini karena berarti kamu juga harus konsisten dengan ucapanmu. Jangan menjelek-jelekkan sesuatu tanpa kamu cari tahu dulu asal-usulnya. Tiap sesuatunya itu ada positif dan negatifnya. So, jangan mengejek hanya karena melihat luarnya tanpa mengetahui prosesnya.

·         “Banyak pelajaran, pesan moral, hikmah (dan apalah itu sejenisnya) di dalam anime”. Jika kamu sudah berkata seperti ini, teruskan penjelasannya. Usahakan dengan bahasa yang sopan karena yang namanya pesan moral adalah sesuatu yang baik. Berilah contoh, misalnya kamu lagi nonton one piece, “di one piece diajarin tentang menghargai perbedaan ras loh (episode luffy di beri donor darah oleh jinbei), kepemimpinan (episode Arabasta, ceritakan perjuangan Vivi), kepedihan di masa lalu yang akan mendewasakan seseorang (ceritakan semua masa kecil kru topi jerami), dll”. Poin pesan moral ini akan ada pembahasannya sendiri di artikel berikutnya, tunggu saja yaa.

·         “Yaa.. namanya juga hobi, Sob, lu juga suka sama K-pop kan? Tapi gua biasa aja (gak mengejek) walau gak suka”. Sebelumnya, yang suka K-pop jangan marah dulu, ini hanya contoh karena haters-nya K-pop juga banyak, sekali lagi ini hanya contoh ya (aslinya saya juga suka K-pop, kok. Berasa senasib aja anime dan K-pop banyak hatersnya). Nah, untuk jawaban ini, kamu tinggal balikin lagi apa hobi si pengejek yang kamu gak suka banget, tapi inget, jangan balik ngejek juga ya… jangan biasakan balas dendam.

·         “Selera orang berbeda-beda, Bro…” ini adalah jawaban singkat jika memang si pengajak susah bersatu dengan kita, bawaannya maunya ngejeeeeek terus. Berkaitan juga sih dengan poin sebelumnya, karena hobi menentukan selera, maka jika beda hobi otomatis beda selera juga.


Jika dalam poin-poin di atas belum bisa mengubah ejekan-ejekan mereka, percayalah, dimanapun kapanpun apapun itu pasti ada saja yang tidak suka. Jadi jangan paksa mereka untuk menyukai anime. So, sabar saja yaa… ini jawabanku, apa jawabanmu? Semoga tulisan ini bermanfaat.

More Than Word, Gara-gara Si 'Bang Tere'

Entah sudah beberapa tahun berlalu, saya yang sangat ngefans dengan Tere Liye mencoba mengumpulkan quotesnya dalam sebuah buku. Tapi kata bang Tere (sebutan sayang :p ) tidak boleh diterbitkan. Dan, inilah hasil kegilaan saya gara-gara sering membaca novel-novel beliau:

ingat ya, ini cuma iseng2, tidak diperjual belikan, ini milik saya pribadi, pribadi saya yang gila dimabuk fiksi-fiksi penuh gaya bahasa yang memabukkan. beberapa quotes bang Tere di dalamnya:

KEHIDUPAN DAN PEMAHAMAN

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.”

*Hakikat belajar

Orang dewasa, saat ditanya, kenapa kita belajar menulis? Ka- lau jawabannya: agar bisa menerbitkan buku. Maka itu benar2 membelokkan tujuan mulia dari menulis. Saat ditanya, kenapa kita belajar memasak? Kalau jawabannya: agar bisa jadi master cheft, punya restoran mahal, maka itu juga benar2 membelokkan tujuan mulia dari memasak. Orang dewasa, saat ditanya, kenapa sekolah tinggi2? Kalau jawabannya: agar bisa kaya raya, berkuasa, maka itu benar2 membelokkan tujuan mulia dari mencari ilmu. Anak-anak, saat ditanya, kenapa kita belajar naik sepeda? Ti- dak ada anak-anak yg akan menjawabnya, agar bisa jadi pembal- ap sepeda, bisa ikut tour de france. Kebanyakan akan menjawab karena senang saja, karena ingin bermain sepede bersama teman yang lain. Simpel, tapi menjelaskan tujuan yang mulia. Juga saat belajar main bola, berenang, anak2 akan menjawabnya sederha- na. Atau bilang ingin seperti Om Messi, Om Ronaldo, tapi maksud mereka main bolanya seperti dua Om itu, bukan gaya hidup, kaya raya--orang dewasalah yang kadang menakjubkan begitu jauh mikirnya. Kenapa kita lupa betapa sederhananya waktu dulu kita jadi anak-anak? Kita belajar merangkak, buat apa? Kita belajar ber- jalan, buat apa? Kita belajar berlari, buat apa? Kita lakukan saja, dengan senang hati. Dan berhasil semua. Tidak ada yang gagal be- lajar waktu kecil, bukan? Mayoritas sukses semua. Itu benar, kita kadang digoda dengan cokelat, mainan oleh orang tua, dan kita tertawa patah-patah melangkahkan kaki mendekat, tapi mana ada anak kecil yang perhitungan sekali saat belajar. Saya tidak tahu, pada detik ke berapa kita mulai punya pema- haman yang terbalik soal proses belajar ini. Entahlah. Siapa yang memulainya, siapa yang menanamkannya. Karena menurut he- mat saya, akan indah sekali, saat semua orang belajar menulis, misalnya, dia simply hanya ingin menulis, dan terus, terus, terus menulis. Kesuksesan akan datang sendiri. Buku2 akan terbit. Dan berbagai milestone lainnya. Kenapa kita belajar tinggi2 untuk jadi dokter? Akan sangat indah saat orang2 hanya ingin menjadi dok- ter yang baik, membantu banyak orang. Kesuksesan akan datang sendiri. Kaya, terkenal. Bahkan saat kita tolak semua materi terse- but, kita menjauh, urusan duniawi itu tetap mendekat-

Ini kesekian kali saya menulis tentang hakikat proses belajar. Maka semoga satu-dua saja paham, mulai memutuskan menyukai sekolahnya, kuliahnya, sebenar-benarnya karena ingin mencari ilmu, itu sudah sebuah langkah awal dari sebuah proses panjang yang menyenangkan. Se-aneh apapun pilihan jurusan kita, setidak terkenal, dianggap remeh, kita tetap bisa menjadi yang terbaik jika tujuannya memang belajar dan menjadi terbaik di bidang itu. Lakukan dengan riang, lakukan tanpa beban, dan kita lihat hasil- nya. Pegang tulisan ini, dan silahkan cerita 10-20 tahun lagi. Apak- .ah rumus ini keliru atau benar 

*Terlalu nge-judge

Teman saya, kita sebut saja namanya adalah Bambang, se- benarnya baik. Hanya satu masalahnya, terlalu mudah menilai orang lain, nge-judge, tanpa dipikirkan dua kali, apakah dia me- mang pantas melakukannya, apakah itu sopan atau tidak. Apakah dia layak atau tidak melakukannya. Bambang tidak peduli, naman- ya juga hobi dia. Nah, pada suatu hari si Bambang yang adalah pegawai di salah- satu perusahaan swasta itu mengunjungi salah seorang seniornya di kantor, tidak terlalu dekat memang, tapi karena si senior ini termasuk atasan penting, juga dikenal baik, maka berangkatlah si Bambang bersama teman2 sekantornya untuk ikut berbelasung- kawa. Si senior ini lagi kena kemalangan, rumahnya dirampok orang, istri dan anak2nya yang diikat semalam trauma. Harta ben- da hilang, mobil dibawa pergi. Ada banyak orang yg berkunjung, bilang simpati, termasuk petugas yang sibuk bekerja. Saat giliran teman2 kantor bertemu, bilang ikut sedih atas kejadian tersebut, maka si Bambang seperti biasa, cepat sekali menilai orang lain, dia menjabat tangan seniornya, kemudian berkata mantap, “Semoga ada hikmahnya ya, Mas. Mungkin ini agar Mas lain kali lebih ban- yak sedekah, berinfaq. Tidak kikir dengan orang2 yang membu- tuhkan.” Santai sekali si Bambang ini berkata, saking santainya, dia tidak tahu kalau teman2 lain yang tahu persis justeru mena- han nafas. Syukurlah seniornya hanya mengangguk, tersenyum tipis. Tidak tersinggung. Sepulang dari rumah si senior, dalam perjalanan kembali ke kantor, salah-satu teman kerja Bambang berkata pelan, “Eh, Mbang, bulan lalu pas anak ente masuk rumah sakit kan biay- anya melebihi tanggungan perusahaan kan ya?” Bambang nyen- gir, ngangguk, “Iya tuh. Gue harus bayar hampir xx juta, ngabisin tabungan. Gue udah pusing sekali, cari duitnya, syukur ada orang yang mau bantu.” Teman kerjanya kemudian menatap Bambang lamat2, “Lu tahu nggak siapa yang bantu?” Bambang menggeleng- -karena dia memang tidak tahu, tiba2 tagihan rumah sakit sudah lunas. Dan teman si Bambang berkata prihatin, “Yang bantu lu itu senior kita tadi. Yang lu bilang agar lebih banyak sedekah, berin- faq. Tidak kikir. Dialah yang ngelunasin tagihan rumah sakit anak lu.

Di dunia ini, adalah tabiat kita mudah sekali menilai, nge- judge orang lain. Dan sayangnya, kita bahkan langsung dengan telak menuduh orang lain persis di hadapan banyak orang. Si Bambang ringan tangan sekali nge-judge orang lain jangan kikir. Atau dalam kasus lain, orang2 ringan sekali bilang “Makanya dong jadi orang yang sabar, coba tiru Rasul Allah, sabar banget, kan.”, tega sekali membawa2 pembanding yang tidak ada bandingan- nya, padahal kita sama sekali tidak tahu seberapa besar dia sudah mencoba bersabar. Atau “Anda ini sepertinya memang tidak mau mendengarkan orang lain, ya. Tidak demokratis.” Padahal kita ti- dak tahu sama sekali orang yang kita nilai tersebut bahkan bisa masuk dalam daftar 1.000 orang paling mendengarkan yang per- nah ada. Nge-judge sana, nge-judge sini. Bahkan saat kita tidak kenal dengannya, baru pertama kali berinteraksi, tumpah ruah kali- mat2 menilai orang lain. Lupa kalau orang yang kita ajak bicara lebih tua, lebih banyak makan asam garam kehidupan. Lupa kalau orang yang kita judge lebih tahu. Pun termasuk di dunia maya ini, berserakan kebiasaan buruk tersebut. Maka, my dear anggota page, jangan jadi si Bambang. Saya in- gat sekali nasehat orang tua, sbb: Bahwa orang2 yang sibuk meni- lai orang lain, maka dia akan lupa untuk mulai bersegera menilai diri sendiri. Orang2 yang sibuk nge-judge orang lain, maka dia akan lupa, kelak pada hari penghabisan, dirinyalah yang akan di- judge setiap jengkalnya. 
 .Mungkin baik sekali direfleksikan, dipikirkan 

*Balada si Bambang 

Namanya Bambang, usianya sih sudah 24 tahun. Setahun lagi persis seperempat abad usianya. Sudah matang, sudah dewasa. Eh, dewasa? Tunggu dulu, karena itulah kenapa tulisan ini dibuat. Saya hendak berbagi cerita yg saya kasih judul “balada si Bam- bang”. Namanya Bambang, pertama2 mari kita lihat profile face- booknya. Dia menulis nama akunnya: “Bambang Radjatampan Yg Celalu Ceti4”. Ajaib sekali. Masa’ iya? Mana mungkin? Umur 24 ta- hun masih eror begitu? Kata siapa mana mungkin, bahkan itu leb- ih oke dibanding nama profile sebelumnya yang “Bambang Buj4ng yg ngg4k Suk4 Jheruugg maka4n jheruggg”. Kemudian, tidak cu- kup dgn nama profile aneh begitu, didaftarlah biodatanya, peker- jaan: Direktur PT Alam Lain, sekolah: Harvat University (lupa dia kalau di luar negeri, bule2 nyebutnya Harvard). Tinggal di London, bergaya banget deh si Bambang ini meski sebenarnya melihat mo- nas saja lewat tipi. Lantas, belum cukup menyiksa orang dengan data ajaib tersebut, dia masukkan foto profile paling gaya--menu- rutnya sih, paling oke. Sambil duduk, tsaaa.... Atau sambil megang rambut, tsaaa.... Kemudian, cover untuk profile facebooknya dia taruhlah simbol2 keren aliran metal, atau klub bola atau apa saja yg menurut dia bakal bikin orang lain terpesona. Kedua2, lantas apa pekerjaan Bambang ini sehari2? Pengangguran. Kalaupun sekolah/kuliah, nggak jelas kapan dia kuliahnya, kapan dia mau selesai kuliahnya. Lebih sering nongkrongin face- book, dunia maya dibanding kelas di kampus. Jadi apa pekerjaan- nya? Sebagian besar sih internetan. Kalau dia sedang selancar di website berita, maka apapun beritanya, dia komen, dan semangat sekali kalau bisa ngajak bertengkar orang lain. Kalau sedang di facebook, maka sibuk cari2 perhatian. Lihat profile cewek dengan jidat mulus dikit, langsung add. Sok gahul dengan modal kosakat alay semi garing, “Koq Qmu c4ntik bget cih”. Maka kalau pancin- gannya tepat, karena tentulah di sisi satunya juga ada, balada si “Cabi3 ch4ntiq Cameron”, langsung deh saling bergenit ria. Kece- wa, karena tahu sama tahu kalau sama2 masang foto palsu, atau bosan, nggak ada tanggapannya, nggak ada kemajuan, ganti lagi ke tempat lain. Di luar internetan, apa sih sebenarnya pekerjaan si Bam- bang ini? Bukankah kalau ada berita agama, dia berubah jadi kayak ulama besar, ikutan komen, bahkan bisa menentukan benar salah pendapat orang lain? Kalau ada berita politik, bukankah dia berubah jadi politikus ulung? Soal harga BBM, berubah jadi kayak jebolan doktor ekonomi? atau soal berita gosip artis, lang- sung berubah kayak wartawan infotainment yang nyinyir ke- mana2. Soal korupsi, dia jadi orang pertama yang nge-bully, tapi sebenarnya kalau ada kesempatan korup, dia juga yang pertama mengambilnya. Tidak ada pekerjaannya si Bambang ini. Dia hanya berkutat dengan keseharian yang itu2 saja. Beberapa bahkan me- nyusahkan orang tua, orang2 di sekitarnya. Secara materi--masih minta terus. Secara perasaan--capek mikirin mau jadi apa si Bam- bang ini.

Ketiga2, lantas apa yang dilakukan si Bambang dalam ke- hidupan nyata? Banyak. Kalau di jalanan, naik motor, maka dia berubah lebih tangguh dibanding Rossi, Stoner (sy sudah buatkan kisah tersendiri untuk ini). Selip sana, selip sini. Malam2 begadang tak tahu tujuan. Kongkow dengan sohib senasib--kalau punya te- man. Menghabiskan waktu dengan hidup bebas. Pemahamannya ya sesuai pemahaman sendiri2, tanggungjawab? Entahlah. Masa depan? Apa pentingnya masa depan. Maka jangan ditanya soal ke- bermanfaatan dan akhlak yang baik. Kita bisa diceramahi balik. Inilah balada si Bambang, kawan kita yang radjatampan celalu ceti4. Realita dunia maya dan dunia nyata hari ini. Ada di mana2 contohnya. Ada yang lebih ekstrem dari ini balada-nya. Ada yang sebelas-duabelas, tidak jauh2 beda. Ada yang kadarnya lebih ringan, punya pekerjaan, meski lebih sering korupsi waktu. Entahlah besok lusa apa akhir dari balada si Bambang ini. Apakah dia tetap jadi radjatampan, atau ganti nama lagi, meski itu tidak akan mudah, mengingat facebook sudah menerapkan aturan ketat merubah2 nama profile lagi. Nah, sebagai penutup, saya hendak bilang, bersyukurlah se- lalu kalau kita punya orang tua yang selalu mengingatkan. Punya teman yang selalu peduli. Guru2 yang perhatian, orang dewasa di sekitar yang menjadi teladan baik. Bersyukurlah. Banyak2lah membaca buku yang baik, memperhatikan sekitar. Jadikan kehidu- pan ini tempat belajar terbaik. Cari teman2 yang baik, lingkungan yang mendukung, lantas bikin tembok tangguh untuk mencegah  pengaruh buruk. Kitalah yang akan menjalani hidup ini, dan kital- ah yang paling tahu bahagia atau tidaknya. Adios.

Saya pikir, saya dulu sempat pernah menjadi si Bambang. hihi :D
Tapi seiring berjalannya waktu, pemahaman itu muncul dengan sendirinya lewat kehidupan yang penuh liku dan hikmah ini. Sekian. Semoga bermanfaat.


Cinta Pertama di Kampus: Kamus Linguistik Arab >< Indonesia

Teringat suatu perjuangan, saat sedang cinta-cintanya dengan linguistik Arab. Dimana sering nginep dan begadang di kos teman, mengetik manual dari kamus ke kamus, tak ada satu copy paste pun, semua ketik manual. Alhamdulilah, dengan segala RahmatNya, jadilah hasil begadang kami:


Sedikit saya beri gambaran ttg kamusnya:

A

Abjad ุญุฑูˆู ุงู„ู‡ุฌุงุก (huru:f al-hija:i)
Kumpulan  tanda tulisan, disebut huruf , yang masing-masing menggambarkan satu bunyi atau lebih, dan biasanya mempunyai urutan tetap.
Abjad fonetis   ุฃุจุฌุฏูŠุฉ ุตูˆุชูŠุฉ(abjadiyyah shautiyyah)
Abjad yang dipakai dalam transkripsi fonetis: mis. abjad IPA.
Abreviasi ุงุฎุชุตุงุฑ ูƒุชุงุจูŠ (Ikhtisha:r kita:bi)
Proses morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi ini menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronimi, kontraksi, lambang huruf. 
Absorpsi ุงู…ุชุตุงุต (imtisha:sh)
Asimilasi yang mengakibatkan hilangnya sebuah fonem.
Adjektiva  ุตูุฉ (Shifah)
Kata yang menerangkan kata benda.dalam BI adjektiva mempunyai ciri dapat bergabung dengan tidak dan partikel seperti lebih, sangat, dsb. Dalam Bahasa Inggris ditandai oleh kemampuannya untuk bergabung dengan –er, -est, atau more, most.
Adnominal ูˆุงุตู ุงู„ุงุณู… (wa:shif al-ism)
Kata atau kelompok kata yang menerang-kan nomina.
Adverb ุธุฑู  (Zharf:)
Kata yang dipakai untuk memberikan verba adjektiva, proposisi, atau adverbia lain; mis. Sangat, lebih, tidak, dsb.
Adverbial ุธุฑููŠ (Zharfi:)
Bentuk bahasa yang berfungsi sebagai adverbia tetapi tidak berinfleksi seperti adverbia biasa: bersifat atau berfungsi sebagai adverbia: mis. frasa adverbial.
Afiksasi   ุฅุถุงูุฉ ุงู„ุฒูˆุงุฆุฏ (Idho:fah al-zawa:id)
Proses atau hasil penambahan afiks pada akar, dasar, atau alas.
Akar  ุฃุตู„ (Ashl)
Dasar; unsur yang menjadi dasar pembentukan kata; mis. Graf dalam  grafik, grafikal, biografi, dsb; linguistik Austronesia. Inti kata yang mengandung makna inti dan menjadi dasar pembentukan kata; ciri-cirinya: pada umumnya monosilabis berpola KVK, kadang-kadang bervariasi, kadang-kadang bertukar fonemnya, dan ada yang berhomofoni dengan bentuk lain.
Akronim ุงู„ู†ุญุช (al-naht)
Kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa yang bersangkutan; mis. Kami, abri, hankam, rudal (=peluru kendali).
Aksara ุฎุท (Khath)
1.Sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi, dan yang sedikit banyaknya mewakili ujaran; 2. Jenis sistem tanda-tanda grafis tertentu, mis. aksara Pallawa.
Aksen  ู„ู‡ุฌุฉ (lahjah)
1.tekanan; 2. Tanda diakritis; 3. Variasi bahasa yang berbeda daripada variasi standar, terutama dalam ucapan; lih.logat.
Akusatif  ู…ู†ุตูˆุจ (Manshu:b) (Dalam Kasus)

Kasus yang menandai nomina atau yang sejenisnya sebagai objek langsung.

Terimakasih untuk Tarjamah Center, walau saya cuma numpang ISBN ;p Hingga saat ini, kamus ini belum ada yang mau menerbitkan. Semoga suatu hari nanti saya bisa menerbitkannya sendiri. Dan semoga jika saya diperkenankan sekolah lagi (S2), saya ingin sekali bertemu dengan cinta pertama saya di kampus ini, Linguistik Arab :)

Dan, ehm, saya sempat mengagumi seorang anak jurusan Sastra Arab. Saya sempat ingin memberinya buku ini (walau masih banyak kekurangan, tp semoga bermanfaat untuk dia), tapi tidak jadi karena tidak tahu harus berkata apa. Masa iya tiba-tiba saya kasih, kemungkinan besar sih dia sudah tidak kenal saya, wong cuma teman satu kelompok ospek dulu. Dan akhirnya selama 4 tahun saya kuliah, rasa ini tak pernah tersampaikan. Sampai akhirnya , dia yang memang pintar telah wisuda duluan. Meninggalkan saya bersama kamus dalam ketidaktahuannya. 

Saya sih nggak mau sebut 'cinta' untuk si dia. tapi, untuk kali ini, hanya di blog ini, buat nyambung2in judul jg sih sebenernya. :D cinta pertama di kampus, bisa jadi dia dan Linguistik Arab. (penting ga sih..? haha)

Kamis, 18 Februari 2016

Cerpen: Sandiwara Sabuk Merah

Semester dua ini ku putuskan untuk mengikuti UKM olahraga, silat. Senior fakultas sebelah yang kemarin demo silat di Auditorium kampus menyihir hatiku dengan gerakan-gerakan silatnya yang penuh semangat. Indah namun tak menghilangkan tekhnik beladirinya. Aku dari kecil memang suka silat, jadi sedikit tahu dengan gerakan-gerakan silat. Saat aku meminta izin ke ibu, awalnya ia sempat tak mengizinkan karena katanya aku akhir-akhir ini mudah pusing. Tapi aku tetap bertekat masuk, sampai akhirnya ibu mengizinkan.
Dan sebenarnya juga karena satu hal, si pendemo silat kala itu. Yang paling menyenangkan adalah melihat wajahnya. Wajah tampan, manis dan sejuk itu yang membuatku kian terpikat dan semangat masuk silat. Namanya Rayhan, ia pendiam dan baik. Senior satu tahun diatasku. Entah kenapa rasanya menyenangkan saja jika ada kak Ray.
Pelatih sudah berkacak pinggang di kejauhan. Aku terlambat latihan lagi. Aku berlari ke tempat latihan yang sudah di datangi banyak orang. Mereka sudah selesai hening (pembukaan sebelum silat dimulai) dan straching. Sedangkan aku dengan buru-buru menaruh tas dan memasang sabuk.
“Zakia, hening dan starching bareng, yuk” kak Ray yang ternyata ada di belakangku sedang memasang sabuk juga. Sambil malu-malu aku mengangguk pelan. Bagaimanalah mukaku tidak merah, ia tahu namaku dan kami akan hening dan starching berdua. Aku tidak menyesal terlambat kali ini. Dan semoga saja besok terulang lagi, pikiran ngaco ku keluar lagi. Biarlah dimarahi pelatih, asal aku bisa kian dekat dengan kak Ray. Kami hening dan starching beberapa menit untuk kemudian pelatih menyuruh kami untuk push up, sit up dan back up karena datang terlambat.
Di setiap latihan, aku yang masih sabuk putih (dasar satu) mencari tempat strategis untuk bisa curi-curi pandang ke tempat kak Ray berlatih. Karena tiap tingkatan latihannya akan di pisah. Jadi, sambil latihan, aku diam-diam melihat ke tempat latihan sabuk merah. Tak ada yang tahu, dan latihan ku tetap berjalan mulus. Entah kenapa rasanya menyenangkan sekali melihat kak Ray bersilat, wajahnya yang berubah serius saat mulai mengeluarkan tekhnik-tekhnik membuatnya terlihat keren dimataku. Dengar-dengar ia pernah dilatih oleh pelatih yang professional dan terkenal juga sebelum masuk kuliah. Tak heranlah jika dia termasuk yang pandai dalam bersilat.
***
“Horeeee…. Sabuk meraaah…” teriak anak-anak seangkatan silatku. Kami baru saja mengikuti UKT (Ujian Kenaikan Tingkat) dan penguji mengatakan bahwa kami lulus semua dari sabuk hitam (dasar dua) ke sabuk merah (cakel_calon keluarga). Setahun sudah aku bergabung di silat ini, tentunya juga berkat semangat dari kak Ray. Aku tak tahu jika waktu masih dasar satu, saat masih  curi-curi pandang ke kak Ray, ternyata begitu pun sebaliknya. Kak Ray juga curi-curi pandang ke arahku. Hanya saja jarang sekali kami tertangkap saling pandang. Pernah sekali-dua kali dan itupun kami mengira hanya kebetulan saja, padahal kami sedang saling curi-curi pandang. Sejak naik ke dasar dua, aku sudah tidak bisa lagi curi pandang dengan kak Ray karena tempat latihannya benar-benar terpisahkan oleh tembok.
Tapi sejak kami terhalang tembok, kak Ray yang pendiam itu mulai sering tersenyum dan menyapaku. Kadang kami bercanda dengan teman silat lainnya, tapi pandangan kami saling menatap satu sama lain. Hingga akhirnya kami tahu sebenarnya kami saling suka. Namun kak Ray tetap diam, ia tak menyatakannya.
Aku mulai penasaran, iseng-iseng cari informasi dari seniorku. Ternyata kak Ray belum punya pacar. tapi, sedikit kisah sedih mewarnai masa lalunya. Kak Ray pernah menyukai seorang gadis, tapi gadis itu sudah meninggal. Kejadian itu sudah terjadi dua setengah tahun yang lalu. Jadi tidak banyak yang tahu tentang gadis itu. Mungkinkah kak Ray masih mencintai gadis itu hingga kini sulit untuk membuka hati pada gadis lain? Entahlah, aku kini hanya menjalani seperti biasanya saja. Walau tak dapat dipungkiri aku ingin kak Ray menjadi yang special di kehidupanku.
Seiring berjalannya waktu, semakin aku kenal pula dengan pribadi kak Ray. Aku benar-benar mengaguminya, kak Ray pun kian hebat dalam silatnya. Namun sikap pendiamnya juga kian hebat seperti biasanya. Kami belum pernah berbicara langsung lebih dari tiga menit, itu pun bicara ala kadarnya. Kami saling diam saat bertemu. Saat berpisah ingin bertemu, saat bertemu malah ingin segera pergi darinya karena tak tahan lama-lama merasakan debaran jantung nan kencang itu, itulah ajaibnya orang mencintai.
***
Semester enam sudah ku jalani perkuliahan, sudah dua setengah tahun pula aku menggeluti dunia persilatan yang kian menyenangkan ini. Dalam hati terkecil jujur saja masih karena adanya kak Ray. Aku makin menyayangi pria pendiam itu, walaupun ia tak menyatakan apapun hingga saat ini. Kini kak Ray sudah semester delapan. Dan sebentar lagi pun lulus. sedikit terbesit kecewa dihati, namun mau bagaimana lagi. Aku tak bisa apa-apa. Hanya mengaguminya dalam diam selama dua setengah tahun ini. Hingga pada suatu hari, aku melihat kak Ray sedang duduk di dekat taman kampus seusai latihan. Senja saat itu sangat indah, kampus sudah mulai sepi, aroma angin sore menggodaku untuk menikmatinya bersama pria yang dari dulu ku kagumi itu. Aku beranikan diri untuk mendekat.
“Kak Rayhan…..” sapaku lembut.
“Ooooh… kamu Zak…” kata kak Ray yang terlihat kaget sambil mengusap pipinya. Berusaha menyembunyikan air yang keluar dari matanya. Ia menangis? Aku kaget juga dengan pemandangn di depanku saat ini. Kak Ray yang pendiam, ramah dan semangat kini terlihat sedih, matanya merah. Aku hanya terpatung dibuatnya, tidak tahu harus apa.
“Kamu belum pulang? Nanti kemalaman loh, mau ku antar?” kak Ray berusaha mencairkan suasana setelah kesedihannya itu. Namun sia-sia, semakin aku menatapnya, ia makin berkaca-kaca.
Aku kian diam, entah kenapa melihat orang yang mungkin sudah ku sayang menangis begini, air mataku ikut keluar. Malah rasanya aku yang lebih sedih dari kak Ray. Akhirnya di senja itu, aku dan kak Ray meneteskan air mata bersama tanpa tahu sebabnya.
            Semenjak kejadian itu, aku dan kak Ray kian jauh. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kak Ray kian pendiam lagi, lagi, dan lagi. Ia semakin sibuk pula dengan kejuaraan-kejuaraan silat dan skripsinya. Aku sudah mulai jarang melihatnya di latihan biasa. Hatiku mulai sesak dengan perasaan tidak jelas ini. Aku merasa di gantung, aku merasa bodoh mencintainya. Namun mengingat kejadian senja itu, aku mengerti betapa sedihnya kak Ray atas suatu kejadian. Kejadian yang sepertinya membuatnya sesak juga hingga ia menangis. Aku tidak akan tega bertanya tentang apa yang membuatnya menangis. Tapi di sisi lain aku juga ingin kejelasan perasaan kak Ray terhadapku. Namun aku lebih memilih diam, biar waktu yang mengungkap segalanya. Semoga.
***
            Minggu depan pertandingan kejuaraan nasional IPSI di Makasar akan segera dimulai. Perwakilan dari kampusku sudah bersiap-siap akan berangkat. Aku tidak terpilih mewakili kampus, padahal aku sudah mati-matian berlatih. Tak apa, mungkin masih bisa ikut tahun depan. Aku mencari-cari seseorang diantara kerumunan teman-teman yang akan berangkat.
“Zakia…” dan kini seseorang yang ku cari malah memanggilku, dia ada di belakangku.
“Kak Rayhan…” kataku pelan sambil tersenyum. Kak Ray membalas senyumku. Ini untuk pertama kalinya aku berbicara langsung dengannya semenjak kejadian di senja itu. Kak Ray memberiku isyarat agar berbicara di tempat lain. Aku mengikutinya ke taman kampus.
“Aku mau memberimu ini,” kak Ray menyerahkan sabuk merahnya kepadaku. Aku menerimanya sambil tersenyum. “Untuk kenang-kenangan” katanya.
“Terimakasih..” kataku pelan sambil menahan jantung yang berdegup kencang. Kak Ray mengangguk dan tersenyum. Hanya itu. Benarkah hanya untuk memberi sabuk ini? Ternyata benar, ia sudah mulai balik badan akan meninggalkan taman.
“Kak Ray bodoh!” teriakku saat ia akan menuruni tangga taman. Kak Ray menghentikan langkahnya. Ia masih membelakangiku. Punggungnya yang lebar itu tegap mematung. Aku tak tahu kenapa kata ‘bodoh’ keluar begitu saja dari mulutku yang bodoh ini. Tapi aku memang sudah tak kuat diperlakukan seperti ini.
“Aku sangat menyukai silat, aku selalu mati-matian dalam berlatih silat. Aku ingin pandai silat seperti orang yang sangat ku kagumi dari dulu, dan itu kamu, kak Ray!” aku menekan kata di akhir kalimat meski sangat berat mengucapkannya. Aku mulai berkaca-kaca.
“Aku masuk silat karena melihat gerakan-gerakan indah dari kak Ray saat di auditorium kala itu. Tak dapat di pungkiri bukan hanya gerakannya saja yang indah, tapi kak Ray terlihat menyenangkan saat itu. Entah kenapa saat masuk silat rasanya menyenangkan saja kalau melihat kak Ray. Melihat senyummu aku bahagia kak, tapi melihat tangismu saat itu… aku ikut tersiksa…apa kak Ray masih belum jelas melihat apa yang ada di mata ini saat memandangmu?” aku mengucapkannya sambil menahan pedih. Rasanya sakit sekali meminta kejelasan pada orang yang di sayangi dengan suasana tak mengenakkan seperti ini.
Kak Ray menoleh ke belakang sambil tersenyum. “Aku tahu perasaanmu, aku juga pernah merasakan masuk silat karena seseorang yang ku cintai”. Kata kak Ray, kemudian ia berlalu meninggalkanku.
***
Wangi tanah pekuburan menyeruak di hidung, aroma mawar melati menemani di tiap sudutnya. Aku menaburkan bunga di atas pusara yang masih basah.
Telah Pulang ke Rahmatullah
Rayhan Firdaus
Bin
Abdullah
Lahir: 30 Desember 1989
Wafat: 3 Oktober 2013
Siapa menyangka mobil yang akan membawa rombongan pesilat dari kampus kami ternyata mengalami kecelakaan. Tiga orang tewas termasuk kak Rayhan. Aku menggenggam erat sabuk pemberiannya kemarin. Menciumnya. Mengusap-usapkannya ke wajahku. Aku menangis sedih. Kata-kata terakhirnya tentang seseorang yang ia cintai terus terngiang di kepalaku.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan tak karuan. Mamah melihatku dengan cemas, namun ia tak mengatakan apa-apa. Mamah tahu segalanya. Mamah pasti tahu segalanya. Tiba-tiba aku merasa pusing. Pusing sekali sampai tak terdengar apa-apa. Aku ambruk di halaman rumah. Aku melihat mamah berbicara padaku dengan cemas tapi aku tidak mendengarnya. Ku lihat sabuk yang ku genggam, dan…. Akhirnya aku tahu !
Sabuk merah itu menghantarkanku ke masa lalu. Masa dimana aku selalu menjadi juara silat dalam kejuaraan. Banyak sekali piala dan piagam yang ku raih sejak kecil.hingga suatu hari, saat SMA, seorang pria mendatangiku. Dia memintaku untuk mengajarinya silat. Walaupun umurnya lebih tua dariku setahun, ia tetap ingin diajari olehku. Akhirnya aku menjadi gurunya. Kami sering latihan bersama di berbagai tempat, paling sering di halaman rumahku. Jadilah ia muridku yang pintar. Gerakan-gerakannya lincah, indah dan bagus.
Hingga suatu hari, saat kami berlatih silat bersama teman-teman SMA ku yang lainnya, dan mungkin saat itu memang sudah ditakdirkan kalau tempat kami latihan di dekat bangunan perpustakaan yang sedang dibangun. Kayu balok besar terjatuh dari ketinggian 6 meter, menghantam kepalaku. Darah bercucuran di kepalaku, muridku sambil menangis melepaskan sabuk merahnya dan diikatkan ke kepalaku. Ia dan beberapa teman mengerumuniku dan berteriak-teriak, namun aku tak mendengarnya. Setelah itu gelap.
Terlalu rapihnya sandiwara semua orang membuatku hampir lupa akan ingatanku yang sempat hilang. Keluargaku menyimpan semua piala dan piagam kebanggaanku di kamar orangtuaku. Aku yang beberapa kali pernah menjadi juara internasional tak menutup kemungkinan namaku dikenal banyak orang di dunia silat. Mereka yang mengenalku, pelatih dan senior-seniorku pun ikut sempurna menyembunyikan masa laluku. Kemudian muridku, orang yang ku kagumi saat melihatnya di auditorium, karenanya aku masuk silat, karenanya aku mencuri-curi pandang, menangis bersama di senja taman, ia yang memberiku sabuk tanpa kejelasan… kini semua sudah jelas. Kak Rayhan lah yang paling pandai bersandiwara di sini.
Semua yang menyembunyikan segalanya adalah orang yang paling tersiksa hatinya. Karena tiap waktunya mereka harus berbohong denganku. Orangtuaku yang ternyata menyimpan segalanya dikamar, tiap malam harus menangis sambil menatap piala dan piagam penuh kebanggaan anaknya itu. Pelatih dan senior lainnya yang selalu melatih dan menyemangatiku setelah selesai latihan kadang tak percaya melihat sang juara kini tertatih-tatih berlatih dari awal. Dan kak Rayhan, kini aku yang masih tak percaya. Ia yang ternyata dulu mencintaiku mati-matian sampai ingin masuk silat, sampai rela menjadi murid, ia rela menyandang status guru dan murid asalkan bisa berlatih dengan orang yang ia cintai. Ternyata ia lah yang harus paling pandai menyembunyikan rasa sedih tak terkiranya. Gurunya, gadis yang di cintainya telah hilang ingatan, dan kini tak disangka masuk lagi ke kehidupannya di dunia silat. Ingin sekali mengatakan perasaannya saat itu, tapi apalah daya, balok yang seharusnya mengenainya itu kini membuatnya kian mati. Salah sasaran, mengenaiku. Saat tahu aku hilang ingatan, ia mengubur dalam-dalam kenangan gurunya itu. Ia menjadi sangat diam. Terkadang ia menangis selesai latihan silat mengingatku.

Muridku, pria yang ku cintai. Sampai meninggal pun masih tetap bersandiwara.


Cerpen: Benteng

Aku sudah berusaha sembunyi di sela-sela bangku reyot di kelas paling pojok koridor. Nafasku terengah-engah tak karuan, aku berusaha menenangkannya. Ya Tuhan, tubuhku bergetar hebat. Aku mengintip pelan, memperhatikan seisi ruang kelas. Kemudian menatap pintu kelas yang terbuka. Ku tajamkan telingaku untuk mendengar suara langkah kaki orang mendekat. Namun hanya angin yang terdengar. Ah, syukurlah. Sepertinya tidak ada yang tahu aku berlari ke sini. Padahal tadi saat aku masih bersama Sasha melarikan diri ke kebun belakang sekolah, dia mengejar kami sangat cepat. Aku tahu dia pasti bisa menyusul kami. Dia sangat cepat jika berlari. Ia berlari sambil memperlihatkan senyum menyeringai yang sangat menakutkan. Senyum jahat tanpa suara itu yang membuatku kian berlari kencang.
 Aku dan sasha menusuri kebun sambil teriak-teriak ketakutan. Sampai akhirnya kami berlari ke dalam sekolah lagi, dia masih mengejar kami! Kami kian panik dan berlari tambah kencang dan tibalah di ujung tangga ada pertigaan yang memisahkan kami. Aku belok kanan dan sasha belok kiri. Aku berlari tak tentu arah. Tambah panik karena terpisah oleh sasha. Hingga akhirnya aku tiba di ruang kelas paling pojok koridor yang kosong. Di pojok kelas ada bangku-bangku reyot yang menumpuk. Aku bersembunyi di baliknya. Menenangkan diri. Entah si pengejar pergi kemana. Mengejar aku atau sasha. Tapi sepertinya tak mengejarku. Tak ada suara mencurigakan di sekitar sini. Aku beruntung mendapatkan tempat persembunyian yang agak menenangkan. Aku bersandar ditembok penuh debu serta banyak sarang laba-laba tersebut. Memikirkan cara agar aku bisa keluar dengan selamat.
Tiga menit berlalu, sepertinya aku berhasil tak ditemukan. Aku harus keluar dari sini. Aku mengendap-endap ke pintu bak seorang detektif mengintai buruannya. Mengintip sangat perlahan ke koridor sekolah yang sangat sepi. Yap, tak ada orang. Aku berlari-lari kecil berusaha tanpa suara. Sambil terus menatap sekitar. aku harus keluar dari gedung sekolah ini terlebih dahulu. Aku kembali berlari-lari kecil menuju gerbang depan. Ah, gerbang depan sekolah kami sangat jauh karena harus melewati lorong panjang tempat loker. Sedangkan aku masih ada di dekat ruang UKS yang berada di dekat kebun sekolah. Jika mau ke gerbang depan, harus melewati koridor sepanjang empat kelas dan satu koridor lagi melewati perpustakaan dan laboratorium IPA untuk kemudian melewati lorong loker yang panjang. Atau sebaiknya aku memutar arah lewat kebun belakang? Tapi itu akan lebih jauh dari ini.
Akhirnya setelah melakukan perhitungan resiko, aku memilih lewat koridor-koridor panjang sekolah. Aku melirik sekitar. hanya ada kucing sedang lewat sambil memandangku malas. Aku berlari-lari kecil tanpa suara lagi, melewati empat kelas. Ya, empat kelas yang kurasa seperti setahun melewatinya, akhirnya telah ku lewati. Fuh, aku menghela nafas di samping tempat sampah ujung koridor. Agak berdebar hatiku melewati empat kelas tersebut, takut-takut di tengah jalan ada si dia. Aku tersenyum agak lega karena sudah sampai sini. Selanjutnya melewati koridor perpustakaan dan laboratorium. Aku berlari-lari kecil lagi tanpa bersuara. Untuk beberapa detik kemudian aku mendengar jeritan yang ku kenal.
“Aaaaaaaaaaakhhhhhhhhhh……!!!!”
Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ruang laboratorium untuk sembunyi. Aku langsung menuju kolong meja lab yang panjang. Ah bodoh! Ini adalah tempat persembunyian yang basi. Pasti ketahuan dengan mudah. Aku tambah panik dan menengok sekitar mencari tempat sembunyi yang tepat. Aku langsung pindah tempat ke belakang lemari pipet. Syukurlah tubuh mungilku bisa beradaptasi dengan celah sekecil itu. Kembali tubuhku bergetar hebat. Suara jeritan itu… suara itu… itu adalah jeritan Sasha! Dia pasti tertangkap si pengejar. Jeritan tadi berasal dari lantai dua. Ah, Sasha yang malang, jangan pernah bersembunyi di lantai dua karena peluang untuk berlari hanya sedikit. Kau akan hanya memikirkan dimana tangga atau kau loncat terjun ke bawah. Aku membayangkan wajah ketakutan Sasha melihat dia, dia yang mengejar kami sambil senyum menyeringai tanpa suara… bulu kudukku berdiri membayangkannya. Aku bergetar lagi. Sial, aku jadi sangat ketakutan lagi. Padahal sudah setengah perjalanan koridor.
Aku menggigiti kuku untuk menghilangkan rasa takut. Percuma, jari-jariku malah gemetaran. Tambah gemetar lagi saat ku dengar langkah kaki kian mendekat ruang laboratorium. Aku mengutuk diriku sendiri karena tak menutup kembali ruang lab. Manalah mungkin terpikir menutup pintu saat sedang panik bersembunyi. Aku mengintip di balik celah kecil samping lemari. Melihat kearah pintu. Siluet seseorang berdiri di depan pintu terlihat…. Dan masuk! Sial! Dia masuk ruang lab. Aku menahan nafas. Bagaimana ini? Aku terus menahan nafas takut suara nafasku terdengar olehnya. Ku intip perlahan, siapa dia? Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa sosok yang ku lihat bukan lah si pengejar, bukan si pemilik senyum jahat tanpa suara itu, melainkan temannya! Ini tetap sial, dia pasti juga mencariku karena Sasha sudah tertangkap.
Aku sudah pasrah dengan keadaan. Orang itu terlihat sedang mencari-cari. Aku menutup mata. Tamatlah sudah. Aku ingat masa-masa indah dengan teman-teman. Bermain petak umpet, gobak sodor, kelereng, bรชte tujuh, petak jongkok, nenek gerondong, menonton kartun hari minggu dari jam enam pagi sampai hampir dhuhur, bermain tamiya, karet, gasing, game boy (read:jimbot), tamagoci, tiap seminggu tiga kali bersorak-sorak gembira karena dapat susu sekolah, dll. Kenangan-kenangan indah itu tiba-tiba saja terhujam dihati bagai belati menancap. Susu sekolah yang sangat enak, beda dengan susu-susu yang lainnya, yang di simpan di lab ini. Ah, tunggu dulu, aku baru ingat kalau susu-susu sekolah itu, sumbangan dari luar negri itu di simpan di kulkas lab. Dan aku baru sadar kalau si pengejar ternyata membuka kulkas dan mencari-cari apa yang ada di pikiranku. Benar! Sambil tengok kanan kiri ia mengambil satu kotak susu sekolah, kemudian langsung ia minum habis. Lalu berlari keluar lab meninggalkan sampah kotak susu tersebut.
Syukurlah ia hanya mau minum susu, itu sangat menguntungkanku. Aku kembali tegang dengan suasana. Perlahan keluar lab, melongok kanan kiri, aman. Aku mengendap-endap menuju lorong lorong loker. Mengendap… mengendap… beberapa detik berlalu dan berhasil! Tinggal melewati lorong loker ini maka aku akan selamat dari dua orang pengejar itu. Oke, aku akan berlari sekuat tenaga untuk sampai di gerbang sekolah. Aku menarik nafas panjang dan…. Lari. Aku berlari melewati lorong-lorong loker yang gelap dan panjang, ah, kali ini rasanya seperti dua tahun untuk mencapai ujungnya. Baru setengah perjalanan dua orang mengejarku. Oh tidak, mereka adalah pengejar si senyum jahat tanpa suara dan si peminum susu. Aku ketakutan di kejar mereka dan lariku tambah kencang. Akhirnya, setelah beberapa detik menakutkan itu berakhir juga. Aku sudah berada di luar gerbang. Aku melihat ‘bentengku’ serta teman-temanku, sedangkan kulihat di ‘benteng’ musuh ada musuh-musuh serta Sasha yang tertangkap. Teman-teman menyoraki aku memberi semangat agar sampai ke benteng, tapi terlambat, kawan. Aku tak tahu kalau salah satu musuhku, yakni temannya si senyum jahat tanpa suara dan si peminum susu, ada di belakangku, menepuk pundaku sambil bilang “Kenaaa!!!”.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

PERMAINAN BENTENG
Permainan benteng dimainkan 6 orang atau lebih, semakin banyak orang, akan semakin seru. Dibagi menjadi dua kelompok. Benteng kami dan benteng musuh. Terkadang benteng berupa tiang listrik atau tiang lainnya. Tiap benteng akan berusaha mengambil prajurit musuh satu persatu dengan cara menyentuhnya. Terkadang prajurit harus memancing musuh untuk mengejarnya, karena itu bisa menguntungkan, pertahanan musuh akan lebih longgar. Siapa yang bisa menyentuh benteng musuh, kelompok merekalah pemenangnya. Dan untuk tawanan, ia akan berpegangan pada benteng dan menjulurkan tangan, jika kita berhasil memegang tangan teman kita yang menjadi tawanan, itu sama saja dengan menyentuh benteng (menang).
Era 90-an permainan ini masih banyak di mainkan oleh anak-anak SD. Euforia saat memainkan permainan ini tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maka terciplah cerpen ini.