Aku
sudah berusaha sembunyi di sela-sela bangku reyot di kelas paling pojok
koridor. Nafasku terengah-engah tak karuan, aku berusaha menenangkannya. Ya
Tuhan, tubuhku bergetar hebat. Aku mengintip pelan, memperhatikan seisi ruang
kelas. Kemudian menatap pintu kelas yang terbuka. Ku tajamkan telingaku untuk
mendengar suara langkah kaki orang mendekat. Namun hanya angin yang terdengar.
Ah, syukurlah. Sepertinya tidak ada yang tahu aku berlari ke sini. Padahal tadi
saat aku masih bersama Sasha melarikan diri ke kebun belakang sekolah, dia
mengejar kami sangat cepat. Aku tahu dia pasti bisa menyusul kami. Dia sangat
cepat jika berlari. Ia berlari sambil memperlihatkan senyum menyeringai yang
sangat menakutkan. Senyum jahat tanpa suara itu yang membuatku kian berlari
kencang.
Aku dan sasha menusuri kebun sambil
teriak-teriak ketakutan. Sampai akhirnya kami berlari ke dalam sekolah lagi,
dia masih mengejar kami! Kami kian panik dan berlari tambah kencang dan tibalah
di ujung tangga ada pertigaan yang memisahkan kami. Aku belok kanan dan sasha
belok kiri. Aku berlari tak tentu arah. Tambah panik karena terpisah oleh
sasha. Hingga akhirnya aku tiba di ruang kelas paling pojok koridor yang
kosong. Di pojok kelas ada bangku-bangku reyot yang menumpuk. Aku bersembunyi
di baliknya. Menenangkan diri. Entah si pengejar pergi kemana. Mengejar aku
atau sasha. Tapi sepertinya tak mengejarku. Tak ada suara mencurigakan di
sekitar sini. Aku beruntung mendapatkan tempat persembunyian yang agak
menenangkan. Aku bersandar ditembok penuh debu serta banyak sarang laba-laba
tersebut. Memikirkan cara agar aku bisa keluar dengan selamat.
Tiga
menit berlalu, sepertinya aku berhasil tak ditemukan. Aku harus keluar dari
sini. Aku mengendap-endap ke pintu bak seorang detektif mengintai buruannya.
Mengintip sangat perlahan ke koridor sekolah yang sangat sepi. Yap, tak ada
orang. Aku berlari-lari kecil berusaha tanpa suara. Sambil terus menatap
sekitar. aku harus keluar dari gedung sekolah ini terlebih dahulu. Aku kembali
berlari-lari kecil menuju gerbang depan. Ah, gerbang depan sekolah kami sangat
jauh karena harus melewati lorong panjang tempat loker. Sedangkan aku masih ada
di dekat ruang UKS yang berada di dekat kebun sekolah. Jika mau ke gerbang
depan, harus melewati koridor sepanjang empat kelas dan satu koridor lagi
melewati perpustakaan dan laboratorium IPA untuk kemudian melewati lorong loker
yang panjang. Atau sebaiknya aku memutar arah lewat kebun belakang? Tapi itu
akan lebih jauh dari ini.
Akhirnya
setelah melakukan perhitungan resiko, aku memilih lewat koridor-koridor panjang
sekolah. Aku melirik sekitar. hanya ada kucing sedang lewat sambil memandangku
malas. Aku berlari-lari kecil tanpa suara lagi, melewati empat kelas. Ya, empat
kelas yang kurasa seperti setahun melewatinya, akhirnya telah ku lewati. Fuh,
aku menghela nafas di samping tempat sampah ujung koridor. Agak berdebar hatiku
melewati empat kelas tersebut, takut-takut di tengah jalan ada si dia. Aku
tersenyum agak lega karena sudah sampai sini. Selanjutnya melewati koridor
perpustakaan dan laboratorium. Aku berlari-lari kecil lagi tanpa bersuara.
Untuk beberapa detik kemudian aku mendengar jeritan yang ku kenal.
“Aaaaaaaaaaakhhhhhhhhhh……!!!!”
Tanpa
pikir panjang aku langsung masuk ruang laboratorium untuk sembunyi. Aku
langsung menuju kolong meja lab yang panjang. Ah bodoh! Ini adalah tempat
persembunyian yang basi. Pasti ketahuan dengan mudah. Aku tambah panik dan
menengok sekitar mencari tempat sembunyi yang tepat. Aku langsung pindah tempat
ke belakang lemari pipet. Syukurlah tubuh mungilku bisa beradaptasi dengan
celah sekecil itu. Kembali tubuhku bergetar hebat. Suara jeritan itu… suara
itu… itu adalah jeritan Sasha! Dia pasti tertangkap si pengejar. Jeritan tadi
berasal dari lantai dua. Ah, Sasha yang malang, jangan pernah bersembunyi di
lantai dua karena peluang untuk berlari hanya sedikit. Kau akan hanya
memikirkan dimana tangga atau kau loncat terjun ke bawah. Aku membayangkan
wajah ketakutan Sasha melihat dia, dia yang mengejar kami sambil senyum menyeringai
tanpa suara… bulu kudukku berdiri membayangkannya. Aku bergetar lagi. Sial, aku
jadi sangat ketakutan lagi. Padahal sudah setengah perjalanan koridor.
Aku
menggigiti kuku untuk menghilangkan rasa takut. Percuma, jari-jariku malah
gemetaran. Tambah gemetar lagi saat ku dengar langkah kaki kian mendekat ruang
laboratorium. Aku mengutuk diriku sendiri karena tak menutup kembali ruang lab.
Manalah mungkin terpikir menutup pintu saat sedang panik bersembunyi. Aku
mengintip di balik celah kecil samping lemari. Melihat kearah pintu. Siluet
seseorang berdiri di depan pintu terlihat…. Dan masuk! Sial! Dia masuk ruang
lab. Aku menahan nafas. Bagaimana ini? Aku terus menahan nafas takut suara
nafasku terdengar olehnya. Ku intip perlahan, siapa dia? Beberapa detik
kemudian aku tersadar bahwa sosok yang ku lihat bukan lah si pengejar, bukan si
pemilik senyum jahat tanpa suara itu, melainkan temannya! Ini tetap sial, dia pasti
juga mencariku karena Sasha sudah tertangkap.
Aku
sudah pasrah dengan keadaan. Orang itu terlihat sedang mencari-cari. Aku
menutup mata. Tamatlah sudah. Aku ingat masa-masa indah dengan teman-teman.
Bermain petak umpet, gobak sodor, kelereng, bĂȘte tujuh, petak jongkok, nenek
gerondong, menonton kartun hari minggu dari jam enam pagi sampai hampir dhuhur,
bermain tamiya, karet, gasing, game boy (read:jimbot), tamagoci, tiap seminggu
tiga kali bersorak-sorak gembira karena dapat susu sekolah, dll.
Kenangan-kenangan indah itu tiba-tiba saja terhujam dihati bagai belati
menancap. Susu sekolah yang sangat enak, beda dengan susu-susu yang lainnya,
yang di simpan di lab ini. Ah, tunggu dulu, aku baru ingat kalau susu-susu
sekolah itu, sumbangan dari luar negri itu di simpan di kulkas lab. Dan aku
baru sadar kalau si pengejar ternyata membuka kulkas dan mencari-cari apa yang
ada di pikiranku. Benar! Sambil tengok kanan kiri ia mengambil satu kotak susu
sekolah, kemudian langsung ia minum habis. Lalu berlari keluar lab meninggalkan
sampah kotak susu tersebut.
Syukurlah
ia hanya mau minum susu, itu sangat menguntungkanku. Aku kembali tegang dengan
suasana. Perlahan keluar lab, melongok kanan kiri, aman. Aku mengendap-endap
menuju lorong lorong loker. Mengendap… mengendap… beberapa detik berlalu dan
berhasil! Tinggal melewati lorong loker ini maka aku akan selamat dari dua
orang pengejar itu. Oke, aku akan berlari sekuat tenaga untuk sampai di gerbang
sekolah. Aku menarik nafas panjang dan…. Lari. Aku berlari melewati
lorong-lorong loker yang gelap dan panjang, ah, kali ini rasanya seperti dua
tahun untuk mencapai ujungnya. Baru setengah perjalanan dua orang mengejarku.
Oh tidak, mereka adalah pengejar si senyum jahat tanpa suara dan si peminum
susu. Aku ketakutan di kejar mereka dan lariku tambah kencang. Akhirnya,
setelah beberapa detik menakutkan itu berakhir juga. Aku sudah berada di luar
gerbang. Aku melihat ‘bentengku’ serta teman-temanku, sedangkan kulihat di
‘benteng’ musuh ada musuh-musuh serta Sasha yang tertangkap. Teman-teman
menyoraki aku memberi semangat agar sampai ke benteng, tapi terlambat, kawan.
Aku tak tahu kalau salah satu musuhku, yakni temannya si senyum jahat tanpa
suara dan si peminum susu, ada di belakangku, menepuk pundaku sambil bilang
“Kenaaa!!!”.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
PERMAINAN
BENTENG
Permainan
benteng dimainkan 6 orang atau lebih, semakin banyak orang, akan semakin seru.
Dibagi menjadi dua kelompok. Benteng kami dan benteng musuh. Terkadang benteng
berupa tiang listrik atau tiang lainnya. Tiap benteng akan berusaha mengambil
prajurit musuh satu persatu dengan cara menyentuhnya. Terkadang prajurit harus
memancing musuh untuk mengejarnya, karena itu bisa menguntungkan, pertahanan
musuh akan lebih longgar. Siapa yang bisa menyentuh benteng musuh, kelompok
merekalah pemenangnya. Dan untuk tawanan, ia akan berpegangan pada benteng dan
menjulurkan tangan, jika kita berhasil memegang tangan teman kita yang menjadi
tawanan, itu sama saja dengan menyentuh benteng (menang).
Era 90-an permainan
ini masih banyak di mainkan oleh anak-anak SD. Euforia saat memainkan permainan
ini tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maka terciplah cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar