Kamis, 18 Februari 2016

Cerpen: Benteng

Aku sudah berusaha sembunyi di sela-sela bangku reyot di kelas paling pojok koridor. Nafasku terengah-engah tak karuan, aku berusaha menenangkannya. Ya Tuhan, tubuhku bergetar hebat. Aku mengintip pelan, memperhatikan seisi ruang kelas. Kemudian menatap pintu kelas yang terbuka. Ku tajamkan telingaku untuk mendengar suara langkah kaki orang mendekat. Namun hanya angin yang terdengar. Ah, syukurlah. Sepertinya tidak ada yang tahu aku berlari ke sini. Padahal tadi saat aku masih bersama Sasha melarikan diri ke kebun belakang sekolah, dia mengejar kami sangat cepat. Aku tahu dia pasti bisa menyusul kami. Dia sangat cepat jika berlari. Ia berlari sambil memperlihatkan senyum menyeringai yang sangat menakutkan. Senyum jahat tanpa suara itu yang membuatku kian berlari kencang.
 Aku dan sasha menusuri kebun sambil teriak-teriak ketakutan. Sampai akhirnya kami berlari ke dalam sekolah lagi, dia masih mengejar kami! Kami kian panik dan berlari tambah kencang dan tibalah di ujung tangga ada pertigaan yang memisahkan kami. Aku belok kanan dan sasha belok kiri. Aku berlari tak tentu arah. Tambah panik karena terpisah oleh sasha. Hingga akhirnya aku tiba di ruang kelas paling pojok koridor yang kosong. Di pojok kelas ada bangku-bangku reyot yang menumpuk. Aku bersembunyi di baliknya. Menenangkan diri. Entah si pengejar pergi kemana. Mengejar aku atau sasha. Tapi sepertinya tak mengejarku. Tak ada suara mencurigakan di sekitar sini. Aku beruntung mendapatkan tempat persembunyian yang agak menenangkan. Aku bersandar ditembok penuh debu serta banyak sarang laba-laba tersebut. Memikirkan cara agar aku bisa keluar dengan selamat.
Tiga menit berlalu, sepertinya aku berhasil tak ditemukan. Aku harus keluar dari sini. Aku mengendap-endap ke pintu bak seorang detektif mengintai buruannya. Mengintip sangat perlahan ke koridor sekolah yang sangat sepi. Yap, tak ada orang. Aku berlari-lari kecil berusaha tanpa suara. Sambil terus menatap sekitar. aku harus keluar dari gedung sekolah ini terlebih dahulu. Aku kembali berlari-lari kecil menuju gerbang depan. Ah, gerbang depan sekolah kami sangat jauh karena harus melewati lorong panjang tempat loker. Sedangkan aku masih ada di dekat ruang UKS yang berada di dekat kebun sekolah. Jika mau ke gerbang depan, harus melewati koridor sepanjang empat kelas dan satu koridor lagi melewati perpustakaan dan laboratorium IPA untuk kemudian melewati lorong loker yang panjang. Atau sebaiknya aku memutar arah lewat kebun belakang? Tapi itu akan lebih jauh dari ini.
Akhirnya setelah melakukan perhitungan resiko, aku memilih lewat koridor-koridor panjang sekolah. Aku melirik sekitar. hanya ada kucing sedang lewat sambil memandangku malas. Aku berlari-lari kecil tanpa suara lagi, melewati empat kelas. Ya, empat kelas yang kurasa seperti setahun melewatinya, akhirnya telah ku lewati. Fuh, aku menghela nafas di samping tempat sampah ujung koridor. Agak berdebar hatiku melewati empat kelas tersebut, takut-takut di tengah jalan ada si dia. Aku tersenyum agak lega karena sudah sampai sini. Selanjutnya melewati koridor perpustakaan dan laboratorium. Aku berlari-lari kecil lagi tanpa bersuara. Untuk beberapa detik kemudian aku mendengar jeritan yang ku kenal.
“Aaaaaaaaaaakhhhhhhhhhh……!!!!”
Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ruang laboratorium untuk sembunyi. Aku langsung menuju kolong meja lab yang panjang. Ah bodoh! Ini adalah tempat persembunyian yang basi. Pasti ketahuan dengan mudah. Aku tambah panik dan menengok sekitar mencari tempat sembunyi yang tepat. Aku langsung pindah tempat ke belakang lemari pipet. Syukurlah tubuh mungilku bisa beradaptasi dengan celah sekecil itu. Kembali tubuhku bergetar hebat. Suara jeritan itu… suara itu… itu adalah jeritan Sasha! Dia pasti tertangkap si pengejar. Jeritan tadi berasal dari lantai dua. Ah, Sasha yang malang, jangan pernah bersembunyi di lantai dua karena peluang untuk berlari hanya sedikit. Kau akan hanya memikirkan dimana tangga atau kau loncat terjun ke bawah. Aku membayangkan wajah ketakutan Sasha melihat dia, dia yang mengejar kami sambil senyum menyeringai tanpa suara… bulu kudukku berdiri membayangkannya. Aku bergetar lagi. Sial, aku jadi sangat ketakutan lagi. Padahal sudah setengah perjalanan koridor.
Aku menggigiti kuku untuk menghilangkan rasa takut. Percuma, jari-jariku malah gemetaran. Tambah gemetar lagi saat ku dengar langkah kaki kian mendekat ruang laboratorium. Aku mengutuk diriku sendiri karena tak menutup kembali ruang lab. Manalah mungkin terpikir menutup pintu saat sedang panik bersembunyi. Aku mengintip di balik celah kecil samping lemari. Melihat kearah pintu. Siluet seseorang berdiri di depan pintu terlihat…. Dan masuk! Sial! Dia masuk ruang lab. Aku menahan nafas. Bagaimana ini? Aku terus menahan nafas takut suara nafasku terdengar olehnya. Ku intip perlahan, siapa dia? Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa sosok yang ku lihat bukan lah si pengejar, bukan si pemilik senyum jahat tanpa suara itu, melainkan temannya! Ini tetap sial, dia pasti juga mencariku karena Sasha sudah tertangkap.
Aku sudah pasrah dengan keadaan. Orang itu terlihat sedang mencari-cari. Aku menutup mata. Tamatlah sudah. Aku ingat masa-masa indah dengan teman-teman. Bermain petak umpet, gobak sodor, kelereng, bĂȘte tujuh, petak jongkok, nenek gerondong, menonton kartun hari minggu dari jam enam pagi sampai hampir dhuhur, bermain tamiya, karet, gasing, game boy (read:jimbot), tamagoci, tiap seminggu tiga kali bersorak-sorak gembira karena dapat susu sekolah, dll. Kenangan-kenangan indah itu tiba-tiba saja terhujam dihati bagai belati menancap. Susu sekolah yang sangat enak, beda dengan susu-susu yang lainnya, yang di simpan di lab ini. Ah, tunggu dulu, aku baru ingat kalau susu-susu sekolah itu, sumbangan dari luar negri itu di simpan di kulkas lab. Dan aku baru sadar kalau si pengejar ternyata membuka kulkas dan mencari-cari apa yang ada di pikiranku. Benar! Sambil tengok kanan kiri ia mengambil satu kotak susu sekolah, kemudian langsung ia minum habis. Lalu berlari keluar lab meninggalkan sampah kotak susu tersebut.
Syukurlah ia hanya mau minum susu, itu sangat menguntungkanku. Aku kembali tegang dengan suasana. Perlahan keluar lab, melongok kanan kiri, aman. Aku mengendap-endap menuju lorong lorong loker. Mengendap… mengendap… beberapa detik berlalu dan berhasil! Tinggal melewati lorong loker ini maka aku akan selamat dari dua orang pengejar itu. Oke, aku akan berlari sekuat tenaga untuk sampai di gerbang sekolah. Aku menarik nafas panjang dan…. Lari. Aku berlari melewati lorong-lorong loker yang gelap dan panjang, ah, kali ini rasanya seperti dua tahun untuk mencapai ujungnya. Baru setengah perjalanan dua orang mengejarku. Oh tidak, mereka adalah pengejar si senyum jahat tanpa suara dan si peminum susu. Aku ketakutan di kejar mereka dan lariku tambah kencang. Akhirnya, setelah beberapa detik menakutkan itu berakhir juga. Aku sudah berada di luar gerbang. Aku melihat ‘bentengku’ serta teman-temanku, sedangkan kulihat di ‘benteng’ musuh ada musuh-musuh serta Sasha yang tertangkap. Teman-teman menyoraki aku memberi semangat agar sampai ke benteng, tapi terlambat, kawan. Aku tak tahu kalau salah satu musuhku, yakni temannya si senyum jahat tanpa suara dan si peminum susu, ada di belakangku, menepuk pundaku sambil bilang “Kenaaa!!!”.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

PERMAINAN BENTENG
Permainan benteng dimainkan 6 orang atau lebih, semakin banyak orang, akan semakin seru. Dibagi menjadi dua kelompok. Benteng kami dan benteng musuh. Terkadang benteng berupa tiang listrik atau tiang lainnya. Tiap benteng akan berusaha mengambil prajurit musuh satu persatu dengan cara menyentuhnya. Terkadang prajurit harus memancing musuh untuk mengejarnya, karena itu bisa menguntungkan, pertahanan musuh akan lebih longgar. Siapa yang bisa menyentuh benteng musuh, kelompok merekalah pemenangnya. Dan untuk tawanan, ia akan berpegangan pada benteng dan menjulurkan tangan, jika kita berhasil memegang tangan teman kita yang menjadi tawanan, itu sama saja dengan menyentuh benteng (menang).
Era 90-an permainan ini masih banyak di mainkan oleh anak-anak SD. Euforia saat memainkan permainan ini tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maka terciplah cerpen ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar