Kamis, 18 Februari 2016

Cerpen: Sandiwara Sabuk Merah

Semester dua ini ku putuskan untuk mengikuti UKM olahraga, silat. Senior fakultas sebelah yang kemarin demo silat di Auditorium kampus menyihir hatiku dengan gerakan-gerakan silatnya yang penuh semangat. Indah namun tak menghilangkan tekhnik beladirinya. Aku dari kecil memang suka silat, jadi sedikit tahu dengan gerakan-gerakan silat. Saat aku meminta izin ke ibu, awalnya ia sempat tak mengizinkan karena katanya aku akhir-akhir ini mudah pusing. Tapi aku tetap bertekat masuk, sampai akhirnya ibu mengizinkan.
Dan sebenarnya juga karena satu hal, si pendemo silat kala itu. Yang paling menyenangkan adalah melihat wajahnya. Wajah tampan, manis dan sejuk itu yang membuatku kian terpikat dan semangat masuk silat. Namanya Rayhan, ia pendiam dan baik. Senior satu tahun diatasku. Entah kenapa rasanya menyenangkan saja jika ada kak Ray.
Pelatih sudah berkacak pinggang di kejauhan. Aku terlambat latihan lagi. Aku berlari ke tempat latihan yang sudah di datangi banyak orang. Mereka sudah selesai hening (pembukaan sebelum silat dimulai) dan straching. Sedangkan aku dengan buru-buru menaruh tas dan memasang sabuk.
“Zakia, hening dan starching bareng, yuk” kak Ray yang ternyata ada di belakangku sedang memasang sabuk juga. Sambil malu-malu aku mengangguk pelan. Bagaimanalah mukaku tidak merah, ia tahu namaku dan kami akan hening dan starching berdua. Aku tidak menyesal terlambat kali ini. Dan semoga saja besok terulang lagi, pikiran ngaco ku keluar lagi. Biarlah dimarahi pelatih, asal aku bisa kian dekat dengan kak Ray. Kami hening dan starching beberapa menit untuk kemudian pelatih menyuruh kami untuk push up, sit up dan back up karena datang terlambat.
Di setiap latihan, aku yang masih sabuk putih (dasar satu) mencari tempat strategis untuk bisa curi-curi pandang ke tempat kak Ray berlatih. Karena tiap tingkatan latihannya akan di pisah. Jadi, sambil latihan, aku diam-diam melihat ke tempat latihan sabuk merah. Tak ada yang tahu, dan latihan ku tetap berjalan mulus. Entah kenapa rasanya menyenangkan sekali melihat kak Ray bersilat, wajahnya yang berubah serius saat mulai mengeluarkan tekhnik-tekhnik membuatnya terlihat keren dimataku. Dengar-dengar ia pernah dilatih oleh pelatih yang professional dan terkenal juga sebelum masuk kuliah. Tak heranlah jika dia termasuk yang pandai dalam bersilat.
***
“Horeeee…. Sabuk meraaah…” teriak anak-anak seangkatan silatku. Kami baru saja mengikuti UKT (Ujian Kenaikan Tingkat) dan penguji mengatakan bahwa kami lulus semua dari sabuk hitam (dasar dua) ke sabuk merah (cakel_calon keluarga). Setahun sudah aku bergabung di silat ini, tentunya juga berkat semangat dari kak Ray. Aku tak tahu jika waktu masih dasar satu, saat masih  curi-curi pandang ke kak Ray, ternyata begitu pun sebaliknya. Kak Ray juga curi-curi pandang ke arahku. Hanya saja jarang sekali kami tertangkap saling pandang. Pernah sekali-dua kali dan itupun kami mengira hanya kebetulan saja, padahal kami sedang saling curi-curi pandang. Sejak naik ke dasar dua, aku sudah tidak bisa lagi curi pandang dengan kak Ray karena tempat latihannya benar-benar terpisahkan oleh tembok.
Tapi sejak kami terhalang tembok, kak Ray yang pendiam itu mulai sering tersenyum dan menyapaku. Kadang kami bercanda dengan teman silat lainnya, tapi pandangan kami saling menatap satu sama lain. Hingga akhirnya kami tahu sebenarnya kami saling suka. Namun kak Ray tetap diam, ia tak menyatakannya.
Aku mulai penasaran, iseng-iseng cari informasi dari seniorku. Ternyata kak Ray belum punya pacar. tapi, sedikit kisah sedih mewarnai masa lalunya. Kak Ray pernah menyukai seorang gadis, tapi gadis itu sudah meninggal. Kejadian itu sudah terjadi dua setengah tahun yang lalu. Jadi tidak banyak yang tahu tentang gadis itu. Mungkinkah kak Ray masih mencintai gadis itu hingga kini sulit untuk membuka hati pada gadis lain? Entahlah, aku kini hanya menjalani seperti biasanya saja. Walau tak dapat dipungkiri aku ingin kak Ray menjadi yang special di kehidupanku.
Seiring berjalannya waktu, semakin aku kenal pula dengan pribadi kak Ray. Aku benar-benar mengaguminya, kak Ray pun kian hebat dalam silatnya. Namun sikap pendiamnya juga kian hebat seperti biasanya. Kami belum pernah berbicara langsung lebih dari tiga menit, itu pun bicara ala kadarnya. Kami saling diam saat bertemu. Saat berpisah ingin bertemu, saat bertemu malah ingin segera pergi darinya karena tak tahan lama-lama merasakan debaran jantung nan kencang itu, itulah ajaibnya orang mencintai.
***
Semester enam sudah ku jalani perkuliahan, sudah dua setengah tahun pula aku menggeluti dunia persilatan yang kian menyenangkan ini. Dalam hati terkecil jujur saja masih karena adanya kak Ray. Aku makin menyayangi pria pendiam itu, walaupun ia tak menyatakan apapun hingga saat ini. Kini kak Ray sudah semester delapan. Dan sebentar lagi pun lulus. sedikit terbesit kecewa dihati, namun mau bagaimana lagi. Aku tak bisa apa-apa. Hanya mengaguminya dalam diam selama dua setengah tahun ini. Hingga pada suatu hari, aku melihat kak Ray sedang duduk di dekat taman kampus seusai latihan. Senja saat itu sangat indah, kampus sudah mulai sepi, aroma angin sore menggodaku untuk menikmatinya bersama pria yang dari dulu ku kagumi itu. Aku beranikan diri untuk mendekat.
“Kak Rayhan…..” sapaku lembut.
“Ooooh… kamu Zak…” kata kak Ray yang terlihat kaget sambil mengusap pipinya. Berusaha menyembunyikan air yang keluar dari matanya. Ia menangis? Aku kaget juga dengan pemandangn di depanku saat ini. Kak Ray yang pendiam, ramah dan semangat kini terlihat sedih, matanya merah. Aku hanya terpatung dibuatnya, tidak tahu harus apa.
“Kamu belum pulang? Nanti kemalaman loh, mau ku antar?” kak Ray berusaha mencairkan suasana setelah kesedihannya itu. Namun sia-sia, semakin aku menatapnya, ia makin berkaca-kaca.
Aku kian diam, entah kenapa melihat orang yang mungkin sudah ku sayang menangis begini, air mataku ikut keluar. Malah rasanya aku yang lebih sedih dari kak Ray. Akhirnya di senja itu, aku dan kak Ray meneteskan air mata bersama tanpa tahu sebabnya.
            Semenjak kejadian itu, aku dan kak Ray kian jauh. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kak Ray kian pendiam lagi, lagi, dan lagi. Ia semakin sibuk pula dengan kejuaraan-kejuaraan silat dan skripsinya. Aku sudah mulai jarang melihatnya di latihan biasa. Hatiku mulai sesak dengan perasaan tidak jelas ini. Aku merasa di gantung, aku merasa bodoh mencintainya. Namun mengingat kejadian senja itu, aku mengerti betapa sedihnya kak Ray atas suatu kejadian. Kejadian yang sepertinya membuatnya sesak juga hingga ia menangis. Aku tidak akan tega bertanya tentang apa yang membuatnya menangis. Tapi di sisi lain aku juga ingin kejelasan perasaan kak Ray terhadapku. Namun aku lebih memilih diam, biar waktu yang mengungkap segalanya. Semoga.
***
            Minggu depan pertandingan kejuaraan nasional IPSI di Makasar akan segera dimulai. Perwakilan dari kampusku sudah bersiap-siap akan berangkat. Aku tidak terpilih mewakili kampus, padahal aku sudah mati-matian berlatih. Tak apa, mungkin masih bisa ikut tahun depan. Aku mencari-cari seseorang diantara kerumunan teman-teman yang akan berangkat.
“Zakia…” dan kini seseorang yang ku cari malah memanggilku, dia ada di belakangku.
“Kak Rayhan…” kataku pelan sambil tersenyum. Kak Ray membalas senyumku. Ini untuk pertama kalinya aku berbicara langsung dengannya semenjak kejadian di senja itu. Kak Ray memberiku isyarat agar berbicara di tempat lain. Aku mengikutinya ke taman kampus.
“Aku mau memberimu ini,” kak Ray menyerahkan sabuk merahnya kepadaku. Aku menerimanya sambil tersenyum. “Untuk kenang-kenangan” katanya.
“Terimakasih..” kataku pelan sambil menahan jantung yang berdegup kencang. Kak Ray mengangguk dan tersenyum. Hanya itu. Benarkah hanya untuk memberi sabuk ini? Ternyata benar, ia sudah mulai balik badan akan meninggalkan taman.
“Kak Ray bodoh!” teriakku saat ia akan menuruni tangga taman. Kak Ray menghentikan langkahnya. Ia masih membelakangiku. Punggungnya yang lebar itu tegap mematung. Aku tak tahu kenapa kata ‘bodoh’ keluar begitu saja dari mulutku yang bodoh ini. Tapi aku memang sudah tak kuat diperlakukan seperti ini.
“Aku sangat menyukai silat, aku selalu mati-matian dalam berlatih silat. Aku ingin pandai silat seperti orang yang sangat ku kagumi dari dulu, dan itu kamu, kak Ray!” aku menekan kata di akhir kalimat meski sangat berat mengucapkannya. Aku mulai berkaca-kaca.
“Aku masuk silat karena melihat gerakan-gerakan indah dari kak Ray saat di auditorium kala itu. Tak dapat di pungkiri bukan hanya gerakannya saja yang indah, tapi kak Ray terlihat menyenangkan saat itu. Entah kenapa saat masuk silat rasanya menyenangkan saja kalau melihat kak Ray. Melihat senyummu aku bahagia kak, tapi melihat tangismu saat itu… aku ikut tersiksa…apa kak Ray masih belum jelas melihat apa yang ada di mata ini saat memandangmu?” aku mengucapkannya sambil menahan pedih. Rasanya sakit sekali meminta kejelasan pada orang yang di sayangi dengan suasana tak mengenakkan seperti ini.
Kak Ray menoleh ke belakang sambil tersenyum. “Aku tahu perasaanmu, aku juga pernah merasakan masuk silat karena seseorang yang ku cintai”. Kata kak Ray, kemudian ia berlalu meninggalkanku.
***
Wangi tanah pekuburan menyeruak di hidung, aroma mawar melati menemani di tiap sudutnya. Aku menaburkan bunga di atas pusara yang masih basah.
Telah Pulang ke Rahmatullah
Rayhan Firdaus
Bin
Abdullah
Lahir: 30 Desember 1989
Wafat: 3 Oktober 2013
Siapa menyangka mobil yang akan membawa rombongan pesilat dari kampus kami ternyata mengalami kecelakaan. Tiga orang tewas termasuk kak Rayhan. Aku menggenggam erat sabuk pemberiannya kemarin. Menciumnya. Mengusap-usapkannya ke wajahku. Aku menangis sedih. Kata-kata terakhirnya tentang seseorang yang ia cintai terus terngiang di kepalaku.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan tak karuan. Mamah melihatku dengan cemas, namun ia tak mengatakan apa-apa. Mamah tahu segalanya. Mamah pasti tahu segalanya. Tiba-tiba aku merasa pusing. Pusing sekali sampai tak terdengar apa-apa. Aku ambruk di halaman rumah. Aku melihat mamah berbicara padaku dengan cemas tapi aku tidak mendengarnya. Ku lihat sabuk yang ku genggam, dan…. Akhirnya aku tahu !
Sabuk merah itu menghantarkanku ke masa lalu. Masa dimana aku selalu menjadi juara silat dalam kejuaraan. Banyak sekali piala dan piagam yang ku raih sejak kecil.hingga suatu hari, saat SMA, seorang pria mendatangiku. Dia memintaku untuk mengajarinya silat. Walaupun umurnya lebih tua dariku setahun, ia tetap ingin diajari olehku. Akhirnya aku menjadi gurunya. Kami sering latihan bersama di berbagai tempat, paling sering di halaman rumahku. Jadilah ia muridku yang pintar. Gerakan-gerakannya lincah, indah dan bagus.
Hingga suatu hari, saat kami berlatih silat bersama teman-teman SMA ku yang lainnya, dan mungkin saat itu memang sudah ditakdirkan kalau tempat kami latihan di dekat bangunan perpustakaan yang sedang dibangun. Kayu balok besar terjatuh dari ketinggian 6 meter, menghantam kepalaku. Darah bercucuran di kepalaku, muridku sambil menangis melepaskan sabuk merahnya dan diikatkan ke kepalaku. Ia dan beberapa teman mengerumuniku dan berteriak-teriak, namun aku tak mendengarnya. Setelah itu gelap.
Terlalu rapihnya sandiwara semua orang membuatku hampir lupa akan ingatanku yang sempat hilang. Keluargaku menyimpan semua piala dan piagam kebanggaanku di kamar orangtuaku. Aku yang beberapa kali pernah menjadi juara internasional tak menutup kemungkinan namaku dikenal banyak orang di dunia silat. Mereka yang mengenalku, pelatih dan senior-seniorku pun ikut sempurna menyembunyikan masa laluku. Kemudian muridku, orang yang ku kagumi saat melihatnya di auditorium, karenanya aku masuk silat, karenanya aku mencuri-curi pandang, menangis bersama di senja taman, ia yang memberiku sabuk tanpa kejelasan… kini semua sudah jelas. Kak Rayhan lah yang paling pandai bersandiwara di sini.
Semua yang menyembunyikan segalanya adalah orang yang paling tersiksa hatinya. Karena tiap waktunya mereka harus berbohong denganku. Orangtuaku yang ternyata menyimpan segalanya dikamar, tiap malam harus menangis sambil menatap piala dan piagam penuh kebanggaan anaknya itu. Pelatih dan senior lainnya yang selalu melatih dan menyemangatiku setelah selesai latihan kadang tak percaya melihat sang juara kini tertatih-tatih berlatih dari awal. Dan kak Rayhan, kini aku yang masih tak percaya. Ia yang ternyata dulu mencintaiku mati-matian sampai ingin masuk silat, sampai rela menjadi murid, ia rela menyandang status guru dan murid asalkan bisa berlatih dengan orang yang ia cintai. Ternyata ia lah yang harus paling pandai menyembunyikan rasa sedih tak terkiranya. Gurunya, gadis yang di cintainya telah hilang ingatan, dan kini tak disangka masuk lagi ke kehidupannya di dunia silat. Ingin sekali mengatakan perasaannya saat itu, tapi apalah daya, balok yang seharusnya mengenainya itu kini membuatnya kian mati. Salah sasaran, mengenaiku. Saat tahu aku hilang ingatan, ia mengubur dalam-dalam kenangan gurunya itu. Ia menjadi sangat diam. Terkadang ia menangis selesai latihan silat mengingatku.

Muridku, pria yang ku cintai. Sampai meninggal pun masih tetap bersandiwara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar