Kamis, 10 Maret 2016

More Than Word, Gara-gara Si 'Bang Tere'

Entah sudah beberapa tahun berlalu, saya yang sangat ngefans dengan Tere Liye mencoba mengumpulkan quotesnya dalam sebuah buku. Tapi kata bang Tere (sebutan sayang :p ) tidak boleh diterbitkan. Dan, inilah hasil kegilaan saya gara-gara sering membaca novel-novel beliau:

ingat ya, ini cuma iseng2, tidak diperjual belikan, ini milik saya pribadi, pribadi saya yang gila dimabuk fiksi-fiksi penuh gaya bahasa yang memabukkan. beberapa quotes bang Tere di dalamnya:

KEHIDUPAN DAN PEMAHAMAN

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.”

*Hakikat belajar

Orang dewasa, saat ditanya, kenapa kita belajar menulis? Ka- lau jawabannya: agar bisa menerbitkan buku. Maka itu benar2 membelokkan tujuan mulia dari menulis. Saat ditanya, kenapa kita belajar memasak? Kalau jawabannya: agar bisa jadi master cheft, punya restoran mahal, maka itu juga benar2 membelokkan tujuan mulia dari memasak. Orang dewasa, saat ditanya, kenapa sekolah tinggi2? Kalau jawabannya: agar bisa kaya raya, berkuasa, maka itu benar2 membelokkan tujuan mulia dari mencari ilmu. Anak-anak, saat ditanya, kenapa kita belajar naik sepeda? Ti- dak ada anak-anak yg akan menjawabnya, agar bisa jadi pembal- ap sepeda, bisa ikut tour de france. Kebanyakan akan menjawab karena senang saja, karena ingin bermain sepede bersama teman yang lain. Simpel, tapi menjelaskan tujuan yang mulia. Juga saat belajar main bola, berenang, anak2 akan menjawabnya sederha- na. Atau bilang ingin seperti Om Messi, Om Ronaldo, tapi maksud mereka main bolanya seperti dua Om itu, bukan gaya hidup, kaya raya--orang dewasalah yang kadang menakjubkan begitu jauh mikirnya. Kenapa kita lupa betapa sederhananya waktu dulu kita jadi anak-anak? Kita belajar merangkak, buat apa? Kita belajar ber- jalan, buat apa? Kita belajar berlari, buat apa? Kita lakukan saja, dengan senang hati. Dan berhasil semua. Tidak ada yang gagal be- lajar waktu kecil, bukan? Mayoritas sukses semua. Itu benar, kita kadang digoda dengan cokelat, mainan oleh orang tua, dan kita tertawa patah-patah melangkahkan kaki mendekat, tapi mana ada anak kecil yang perhitungan sekali saat belajar. Saya tidak tahu, pada detik ke berapa kita mulai punya pema- haman yang terbalik soal proses belajar ini. Entahlah. Siapa yang memulainya, siapa yang menanamkannya. Karena menurut he- mat saya, akan indah sekali, saat semua orang belajar menulis, misalnya, dia simply hanya ingin menulis, dan terus, terus, terus menulis. Kesuksesan akan datang sendiri. Buku2 akan terbit. Dan berbagai milestone lainnya. Kenapa kita belajar tinggi2 untuk jadi dokter? Akan sangat indah saat orang2 hanya ingin menjadi dok- ter yang baik, membantu banyak orang. Kesuksesan akan datang sendiri. Kaya, terkenal. Bahkan saat kita tolak semua materi terse- but, kita menjauh, urusan duniawi itu tetap mendekat-

Ini kesekian kali saya menulis tentang hakikat proses belajar. Maka semoga satu-dua saja paham, mulai memutuskan menyukai sekolahnya, kuliahnya, sebenar-benarnya karena ingin mencari ilmu, itu sudah sebuah langkah awal dari sebuah proses panjang yang menyenangkan. Se-aneh apapun pilihan jurusan kita, setidak terkenal, dianggap remeh, kita tetap bisa menjadi yang terbaik jika tujuannya memang belajar dan menjadi terbaik di bidang itu. Lakukan dengan riang, lakukan tanpa beban, dan kita lihat hasil- nya. Pegang tulisan ini, dan silahkan cerita 10-20 tahun lagi. Apak- .ah rumus ini keliru atau benar 

*Terlalu nge-judge

Teman saya, kita sebut saja namanya adalah Bambang, se- benarnya baik. Hanya satu masalahnya, terlalu mudah menilai orang lain, nge-judge, tanpa dipikirkan dua kali, apakah dia me- mang pantas melakukannya, apakah itu sopan atau tidak. Apakah dia layak atau tidak melakukannya. Bambang tidak peduli, naman- ya juga hobi dia. Nah, pada suatu hari si Bambang yang adalah pegawai di salah- satu perusahaan swasta itu mengunjungi salah seorang seniornya di kantor, tidak terlalu dekat memang, tapi karena si senior ini termasuk atasan penting, juga dikenal baik, maka berangkatlah si Bambang bersama teman2 sekantornya untuk ikut berbelasung- kawa. Si senior ini lagi kena kemalangan, rumahnya dirampok orang, istri dan anak2nya yang diikat semalam trauma. Harta ben- da hilang, mobil dibawa pergi. Ada banyak orang yg berkunjung, bilang simpati, termasuk petugas yang sibuk bekerja. Saat giliran teman2 kantor bertemu, bilang ikut sedih atas kejadian tersebut, maka si Bambang seperti biasa, cepat sekali menilai orang lain, dia menjabat tangan seniornya, kemudian berkata mantap, “Semoga ada hikmahnya ya, Mas. Mungkin ini agar Mas lain kali lebih ban- yak sedekah, berinfaq. Tidak kikir dengan orang2 yang membu- tuhkan.” Santai sekali si Bambang ini berkata, saking santainya, dia tidak tahu kalau teman2 lain yang tahu persis justeru mena- han nafas. Syukurlah seniornya hanya mengangguk, tersenyum tipis. Tidak tersinggung. Sepulang dari rumah si senior, dalam perjalanan kembali ke kantor, salah-satu teman kerja Bambang berkata pelan, “Eh, Mbang, bulan lalu pas anak ente masuk rumah sakit kan biay- anya melebihi tanggungan perusahaan kan ya?” Bambang nyen- gir, ngangguk, “Iya tuh. Gue harus bayar hampir xx juta, ngabisin tabungan. Gue udah pusing sekali, cari duitnya, syukur ada orang yang mau bantu.” Teman kerjanya kemudian menatap Bambang lamat2, “Lu tahu nggak siapa yang bantu?” Bambang menggeleng- -karena dia memang tidak tahu, tiba2 tagihan rumah sakit sudah lunas. Dan teman si Bambang berkata prihatin, “Yang bantu lu itu senior kita tadi. Yang lu bilang agar lebih banyak sedekah, berin- faq. Tidak kikir. Dialah yang ngelunasin tagihan rumah sakit anak lu.

Di dunia ini, adalah tabiat kita mudah sekali menilai, nge- judge orang lain. Dan sayangnya, kita bahkan langsung dengan telak menuduh orang lain persis di hadapan banyak orang. Si Bambang ringan tangan sekali nge-judge orang lain jangan kikir. Atau dalam kasus lain, orang2 ringan sekali bilang “Makanya dong jadi orang yang sabar, coba tiru Rasul Allah, sabar banget, kan.”, tega sekali membawa2 pembanding yang tidak ada bandingan- nya, padahal kita sama sekali tidak tahu seberapa besar dia sudah mencoba bersabar. Atau “Anda ini sepertinya memang tidak mau mendengarkan orang lain, ya. Tidak demokratis.” Padahal kita ti- dak tahu sama sekali orang yang kita nilai tersebut bahkan bisa masuk dalam daftar 1.000 orang paling mendengarkan yang per- nah ada. Nge-judge sana, nge-judge sini. Bahkan saat kita tidak kenal dengannya, baru pertama kali berinteraksi, tumpah ruah kali- mat2 menilai orang lain. Lupa kalau orang yang kita ajak bicara lebih tua, lebih banyak makan asam garam kehidupan. Lupa kalau orang yang kita judge lebih tahu. Pun termasuk di dunia maya ini, berserakan kebiasaan buruk tersebut. Maka, my dear anggota page, jangan jadi si Bambang. Saya in- gat sekali nasehat orang tua, sbb: Bahwa orang2 yang sibuk meni- lai orang lain, maka dia akan lupa untuk mulai bersegera menilai diri sendiri. Orang2 yang sibuk nge-judge orang lain, maka dia akan lupa, kelak pada hari penghabisan, dirinyalah yang akan di- judge setiap jengkalnya. 
 .Mungkin baik sekali direfleksikan, dipikirkan 

*Balada si Bambang 

Namanya Bambang, usianya sih sudah 24 tahun. Setahun lagi persis seperempat abad usianya. Sudah matang, sudah dewasa. Eh, dewasa? Tunggu dulu, karena itulah kenapa tulisan ini dibuat. Saya hendak berbagi cerita yg saya kasih judul “balada si Bam- bang”. Namanya Bambang, pertama2 mari kita lihat profile face- booknya. Dia menulis nama akunnya: “Bambang Radjatampan Yg Celalu Ceti4”. Ajaib sekali. Masa’ iya? Mana mungkin? Umur 24 ta- hun masih eror begitu? Kata siapa mana mungkin, bahkan itu leb- ih oke dibanding nama profile sebelumnya yang “Bambang Buj4ng yg ngg4k Suk4 Jheruugg maka4n jheruggg”. Kemudian, tidak cu- kup dgn nama profile aneh begitu, didaftarlah biodatanya, peker- jaan: Direktur PT Alam Lain, sekolah: Harvat University (lupa dia kalau di luar negeri, bule2 nyebutnya Harvard). Tinggal di London, bergaya banget deh si Bambang ini meski sebenarnya melihat mo- nas saja lewat tipi. Lantas, belum cukup menyiksa orang dengan data ajaib tersebut, dia masukkan foto profile paling gaya--menu- rutnya sih, paling oke. Sambil duduk, tsaaa.... Atau sambil megang rambut, tsaaa.... Kemudian, cover untuk profile facebooknya dia taruhlah simbol2 keren aliran metal, atau klub bola atau apa saja yg menurut dia bakal bikin orang lain terpesona. Kedua2, lantas apa pekerjaan Bambang ini sehari2? Pengangguran. Kalaupun sekolah/kuliah, nggak jelas kapan dia kuliahnya, kapan dia mau selesai kuliahnya. Lebih sering nongkrongin face- book, dunia maya dibanding kelas di kampus. Jadi apa pekerjaan- nya? Sebagian besar sih internetan. Kalau dia sedang selancar di website berita, maka apapun beritanya, dia komen, dan semangat sekali kalau bisa ngajak bertengkar orang lain. Kalau sedang di facebook, maka sibuk cari2 perhatian. Lihat profile cewek dengan jidat mulus dikit, langsung add. Sok gahul dengan modal kosakat alay semi garing, “Koq Qmu c4ntik bget cih”. Maka kalau pancin- gannya tepat, karena tentulah di sisi satunya juga ada, balada si “Cabi3 ch4ntiq Cameron”, langsung deh saling bergenit ria. Kece- wa, karena tahu sama tahu kalau sama2 masang foto palsu, atau bosan, nggak ada tanggapannya, nggak ada kemajuan, ganti lagi ke tempat lain. Di luar internetan, apa sih sebenarnya pekerjaan si Bam- bang ini? Bukankah kalau ada berita agama, dia berubah jadi kayak ulama besar, ikutan komen, bahkan bisa menentukan benar salah pendapat orang lain? Kalau ada berita politik, bukankah dia berubah jadi politikus ulung? Soal harga BBM, berubah jadi kayak jebolan doktor ekonomi? atau soal berita gosip artis, lang- sung berubah kayak wartawan infotainment yang nyinyir ke- mana2. Soal korupsi, dia jadi orang pertama yang nge-bully, tapi sebenarnya kalau ada kesempatan korup, dia juga yang pertama mengambilnya. Tidak ada pekerjaannya si Bambang ini. Dia hanya berkutat dengan keseharian yang itu2 saja. Beberapa bahkan me- nyusahkan orang tua, orang2 di sekitarnya. Secara materi--masih minta terus. Secara perasaan--capek mikirin mau jadi apa si Bam- bang ini.

Ketiga2, lantas apa yang dilakukan si Bambang dalam ke- hidupan nyata? Banyak. Kalau di jalanan, naik motor, maka dia berubah lebih tangguh dibanding Rossi, Stoner (sy sudah buatkan kisah tersendiri untuk ini). Selip sana, selip sini. Malam2 begadang tak tahu tujuan. Kongkow dengan sohib senasib--kalau punya te- man. Menghabiskan waktu dengan hidup bebas. Pemahamannya ya sesuai pemahaman sendiri2, tanggungjawab? Entahlah. Masa depan? Apa pentingnya masa depan. Maka jangan ditanya soal ke- bermanfaatan dan akhlak yang baik. Kita bisa diceramahi balik. Inilah balada si Bambang, kawan kita yang radjatampan celalu ceti4. Realita dunia maya dan dunia nyata hari ini. Ada di mana2 contohnya. Ada yang lebih ekstrem dari ini balada-nya. Ada yang sebelas-duabelas, tidak jauh2 beda. Ada yang kadarnya lebih ringan, punya pekerjaan, meski lebih sering korupsi waktu. Entahlah besok lusa apa akhir dari balada si Bambang ini. Apakah dia tetap jadi radjatampan, atau ganti nama lagi, meski itu tidak akan mudah, mengingat facebook sudah menerapkan aturan ketat merubah2 nama profile lagi. Nah, sebagai penutup, saya hendak bilang, bersyukurlah se- lalu kalau kita punya orang tua yang selalu mengingatkan. Punya teman yang selalu peduli. Guru2 yang perhatian, orang dewasa di sekitar yang menjadi teladan baik. Bersyukurlah. Banyak2lah membaca buku yang baik, memperhatikan sekitar. Jadikan kehidu- pan ini tempat belajar terbaik. Cari teman2 yang baik, lingkungan yang mendukung, lantas bikin tembok tangguh untuk mencegah  pengaruh buruk. Kitalah yang akan menjalani hidup ini, dan kital- ah yang paling tahu bahagia atau tidaknya. Adios.

Saya pikir, saya dulu sempat pernah menjadi si Bambang. hihi :D
Tapi seiring berjalannya waktu, pemahaman itu muncul dengan sendirinya lewat kehidupan yang penuh liku dan hikmah ini. Sekian. Semoga bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar